Monday 26 November 2012

"TEORI KONTRAK SOSIAL"


Rasionalisme abad 17 yang mendasari teori terjadinya negara dan hukum atas dasar kontrak dan persetujuan rakyat, sebagaimana yang pada asasnya dipaparkan di muka ini, dikemukakan antara lain oleh Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), dan dengan simpulan yang berbeda-beda. Locke, dan kemudian juga Rousseau, disebut-sebut sebagai peletak dasar konsep demokrasi. Menurut kedua pemikir teori kontrak sosial ini, yang disebut ‘rakyat’ itu tak lain daripada sekumpulan individu-individu yang kesepakatan kontraktualnya tak begitu saja dimaknakan sebagai kesediaan untuk berserah diri dan melepaskan kebebasan individualnya secara total kepada sang penguasa. Penguasa adalah pejabat yang mengemban mandat rakyat untuk menjaga dan menjamin hak-hak rakyat yang asasi, yang manakala disalahgunakan akan memberikan hak kepada rakyat untuk mencabut mandat itu, kalau perlu dengan paksa atau dengan revolusi.

Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Dalam teori ini, sumber kewenangan adalah masyarakat itu sendiri.

Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Jaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, Jaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas jaman sebelumnya, yaitu Jaman Pertengahan. Walau pun begitu, pemikiran-pemikiran yang muncul di Jaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada Jaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir jaman-jaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas. Yang jelas adalah bahwa pada Jaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran.

Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang, kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka. Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam praksisnya. Salah satu faktor penyebab perbedaan itu adalah latar belakang pribadi dan kepentingan masing-masing.

1. Thomas Hobbes

Hobbes (1588-1679) hidup pada kondisi negaranya sedang kacau balau karena Perang Saudara; bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen Hobbes memihak kerajaan dan antiparlemen yang dianggap sumber utama perang saudara.

Hobbes justru tiba pada simpulan yang memberikan dasar pembenar pada model pemerintahan yang otokratik. Menurut Hobbes, yang hidup seabad sebelum Rousseau, dalam “keadaan alami sebelum terbentuknya masyarakat negara” setiap individu manusia akan berkebebasan secaratanpa batas. Dalam kehidupan natural-state itu, setiap individu manusia memiliki kebebasan untuk berbuat macam apapun dan/atau untuk menghaki objek macam apapun juga. Kebebasan tanpa batas seperti itu, wajarlah kalau akan berkonsekuensi pada terjadinya perkelahian oleh semua terhadap semua, bellum omnium contra omnes, dan setiap manusia akan berlaku sebagai serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Maka, demikian menurut penalaran Hobbes, situasi yang tidak menguntungkan itu hanya akan dapat diatasi apabila manusia-manusia yang masing-masing berkebebasan dalam keadaan alami itu bersedia membentuk suatu komunitas politik lewat suatu kontraksosial. Lewat kontrak sosial itu, individu-individu manusia akan dapat menikmati hak-haknya sebagai warga komunitas, asal saja mereka bersedia untuk berlaku patuh pada hokum yang berhakikat sebagai hasil kesepakatan kontraktual, dan juga untuk tunduk mutlak kepadapenguasa yang bertugas menegakkan hasil kesepakatan kontraktual. Karena sang penguasa ini berposisi sebagai pihak ketiga yang bukan partisipan kontrak sosial, maka sang penguasa ini tak akan sekali-kali terikat pada kontrak sosial tersebut. Dari sinilah datangnya simpulan Hobbes, sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Leviathan, bahwa kontrak sosial yang bertujuan menjaga tertib sosial dengan memberikan mandat penuh kepadapenguasa itu akan membenarkan penyelenggaraan pemerintahan otokratik yang absolut.

Hobbes memulai dengan bertanya bagaimana jika tidak ada aturan-aturan sosial atau mekanisme yang sudah lazim diterima untuk menegakkan aturan-aturantersebut. Dalam situasi ini, tiap-tiap orang bebas berbuat semaunya. Hobbes menyebut situasi ini sebagai keadaan alam semesta (the state of nature). Lalu, apakah yang akan terjadi? Bagi Hobbes, keadaannya akan menakutkan. Mengapa demikian? Jawab Hobbes, masalahnya bukan karena manusia itu jelek, melainkan karena empat fakta dasar menyangkut kondisi kehidupan manusia: (1). Kesamaan kebutuhan; (2). Kelangkaan; (3). Kesamaan esensial dalam kekuatan/kemampuan manusia; (4). Altruisme yang terbatas (Even if people are not wholly selfish, they nevertheless care very much about themselves; and you cannot simply assume that whenever your vital interest conflict with their vital interests, they will step aside).

2. John Locke

Locke hidup (1632-1704) setengah abad lebih muda daripada Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik; bahwa Locke mendapat pengaruh dari semangat liberalisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu; dan bahwa Locke mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja.

Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama danindependen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.

Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau. Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi.

Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). [John Locke, “An Essay Concerning the True Original, Extent and End of Civil Government,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 84.]

Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.

Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.

Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.

3. J.J. Rousseau

Rousseau (1712-1778) hidup dalam abad berbeda dan negara berbeda pula. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Rousseau berasal dari kalangan biasa yang merasakan kesewenang-wenangan kerajaan; dan bahwa Rousseau mengilhami dan terlibat dalam Revolusi Perancis. Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah.

Negara merupakan produk perjanjian sosial. Individu-individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak, kebebasan dan kekuasaan yangdimilikinya kepada suatu kekuasaan bersama. Kekuasaan bersama ini kemudiandinamakan negara, kedaulatan rakyat, kekuasaan negara atau istilah-istilah lain yang identik dengannya tergantung dari mana kita melihatnya. Negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, meski bukan berarti negara tidak memiliki batasan kekuasaan. Negara memiliki kekuasaan tertinggi hanyalah karena ia merupakan lembaga politik yang memiliki tujuan tinggi dan mulia, yaitu untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu-individu tertentu. Hal ini sama dengan tujuan hidup manusia yaitu agar manusia mencapai kebahagiaan.

Cara lain untuk membuktikan keharusan kontrak sosial adalah apa yang disebut dengan Dilema Tahanan. Yakni: (a) situasi di mana kepentingan semua orang akan dipengaruhi bukan saja oleh apa yang mereka lakukan, melainkan juga apa yang dilakukan oleh orang lain; (b) situasi di mana, secara paradoksikal, masing-masing orang akan berakhir lebih buruk bila mereka secara individual mencari kepentingan2 sendiri ketimbang bila mereka secara bersamaan melakukan apa yang tidak Cuma menyangkut kepentingan individual mereka sendiri.

Argumen-argumen kontra: (1). Kontrak sosial adalah teori moral yang menentang segala bentuk pembangkangan sipil, revolusi dan sebagainya. Bahkan, ia mendorong terciptanya sebuah status quo yang makin lama makin menguat. (2). Bagaimana bila ternyata, kontrak sosial itu telah disusun sedemikian sehingga menguntungkan pihak tertentu, dan terus-menerus merugikan pihak lain dalam satu masyarakat yang sama? Dalam keadaan ini, keluar dari kontrak sosial yang ada menjadi pilihan logis dan alamiah sebagai ungkapan protes.

Argumen penentang lain ialah bahwa teori kontrak sosial cenderung mengabaikan kelompok yang terbelakang, tertindas atau kelas bawah yang tidak mengerti apa yang baik/mengentungkan atau buruk/merugikan mereka. Demikian pula halnya dengan binatang-binatang dan lingkungan hidup lainnya. Padahal, pengabaian terhadap kedua hal itu akan mendorong pada kerusakan kehidupan manusia secara menyeluruh dan berkelanjutan.

No comments:

Post a Comment