BAB I
Status Paradigma Sosiologi
Dalam paparan awalnya George Ritzer menggambarkan dan menjelaskan tentang asal-usul lahirnya sebuah ilmu sosiologi. Dimana George Ritzer menerangkan sejarah lahir dan terbentuknya cabang ilmu ini mulai pemisahan diri dari filsafat positif hingga memiliki nilai empiris bahkan terbentuknya paradigma sosiologi. Thomas Kuhn sebagai penggagas konsep tentang istilah pertamakali paradigma menempati posisi sentral ditengah perkembangan sosiologi hingga menempati kurun dekade yang cukup lama.
Gagasan Kuhn mengenai paradigma inilah yang mendorong generasi setelahnya yaitu Robert Friederich, Lodahl dan Cordon, Philips, Efrat ikut mempopulerkan istilah paradigma yang digagas oleh Kuhn. Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu.
Lantas, istilah Kuhn ini menjadi suatu yang sangat tidak memiliki kejelasan hingga timbul istilah paradigma dipergunakan tak kurang dari dua puluh satu konsep paradigma yang kemudian direduksir oleh Masterman menjadi 3 bagian besar yaitu :
- Paradigma Metafisik
- Paradigma Sosiologi
- Paradigma Konstrak
Sehingga oleh Ritzer dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi itu terdiri atas kelipatan beberapa paradigma. Dimana diantaranya terdapat pergulatan pemikiran yang terjelma dalam eksemplar, teori-teori, metode, serta perangkat yang digunakan masing-masing komunitas ilmuwan yang termasuk dalam paradigma tertentu.
BAB II
Paradigma Fakta Sosial
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu (Thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
- Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
- Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.
Pokok persoalan yang harus
menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah
fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe,
masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih
terperinci fakta sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat
tertentu, system sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan
sebagainya. Menurut Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial :
- Nilai-nilai umum ( common values )
- Norma yang terwujud dalam
kebudayaan atau dalam subkultur.
Ada empat varian teori yang tergabung
ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
- Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifestasi, dan keseimbangan.
- Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya (fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantar unsure-unsurnya.
- Teori Sistem, dan
- Teori Sosiologi Makro
Dalam melakukan pendekatan
terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode
yang banyak untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi
menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode
itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta
sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.
BAB III
Paradigma Defenisi Sosial
Paradigma pada definisi ini
mengacu pada apa yang ditegskan oleh Weber sebagai tindakan sosial antar
hubungan social. Inti tesisnya adalah “ tindakan yang penuh arti “ dari
individu. Yang dimaksudkannya adalah sepanjang tindakannya itu mempunyai makna
atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada
tiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini. Masing-masing :
Teori Aksi (action theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik
Interactionism), dan Fenomenologi (Phenomenology).
Ketiga teori diatas mempunyai
kesamaan ide dasarnya bahwa menurut pandangannya : manusia adalah merupakan
aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu dalam ketiga pembahasan
ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak diluar batas kontrol
dari fakta sosial itu. Sesuatu yang terjadi didalam pemikiran manusia
antara setiap stimulus dan respon yang dipancarkan, menurut ketiga teori ini
adalah merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang menjadi
sasaran perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga secara umum dapat
dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi
sosial ini membolehkan sosiolog untuk memandang manusia sebagai pencipta yang
relatif bebas didalam dunia sosialnya.
BAB IV
Paradigma Perilaku Sosial
Seperti yang dipaparkan
pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini memiliki perbedaan yang cukup
prinsipil dengan paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku manusia
dikontrol oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut
paradigma ini adalah tingkahlaku individu yang brelangsung dalam hubungannya
dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam
faktor lingkungan menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan tingkahlaku.
Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkahlaku dengan perubahan yang
terjadi dalam lingkungan aktor.
Penganut paradigma ini mengaku
memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Bagi paradigma ini individu
kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh
sifat dasar stimulus yang dating dari luar dirinya. Jadi tingkahlaku manusia lebih
bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi
sosial.
Ada dua teori yang termasuk
kedalam paradigma perilaku sosial.
- Behavioral Sociology Theory, teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara akibat dari tingkahlaku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor, khususnya yang dialami sekarang oleh si aktor.
- Exchange Theory, teori ini dibangun dengan maksud sebagai rekasi terhadap paradigma fakta sosial, terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga jurusan :
- Pandangannya tentang emergence
- Pandangannya tentang psikologi
- Metode penjelasan dari Durkheim
Paradigma perilaku sosial ini
dalam penerapan metodenya dapat pula menggunakan dengan dua metode sebelumnya
yaitu kuisioner, interview, dan observasi. Namun demikian, paradigma ini lebih
banyak menggunakan metode eksperimen dalam penelitiannya.
BAB V
Perbedaan Antar Paradigma (Suatu
Penilaian)
Melalui penjelasan-penjelasan
singkat diketiga bab diatas, maka tugas bab ini adalah mencari
perbedaan-perbedaan yang terjadi diketiga paradigma diatas. Satu hal yang
penting untuk diangkat adalah sisi point dari bab yang cukup panjang ini adalah
dengan membaginya menjadi beberapa pointer-pointer penting, diantaranya adalah
sebagai berikut :
- Behaviorisme selain disukai banyak sosiolog juga merupakan perspektif utama sosiologi kontemporer. Sebagian besar analisa sosiologi mengabaikan arti penting behaviorisme.
- Konsepsi umum yang memisahkan antara teori fungsionalisme struktural dan teori konflik adalah menyesatkan. Kedua teori itu lebih banyak unsur persamaannya ketimbang perbedaannya, karena keduanya tercakup dalam satu paradigma. Perbedaan fundamental dalam sosiologi terdapat diantara ketiga paradigma yang telah dibicarakan.
- Implikasi lain ialah adanya hubungan antara teori dan metode yang selalu dikira dipraktekkan secara terpisah satu sama lain. Umumnya terdapat keselarasan antara teori dan metode.
- Ada irrasionalitas dalam sosiologi. Kebanyakan sosiolog yang terlibat dalam pekerjaan teoritis dan metodologis tidak memahami kaitan erat antara keduanya. Teoritisi yang mengira bahwa mereka beroposisi sama sekali antara yang satu dengan yang lain (antara teori konflik dan fungsionalisme struktural), nyatanya berkaitan satu sama lain. Terlihat bahwa peneliti sering memakai metode yang tak cocok untuk mencapai yujuan penelitian mereka.
- Terakhir dan terpenting, pertentangan antar paradigma sosiologi sangat bersifat politis. Tiap paradigma bersaing disetiap bidang sosiologi. Kebanyakan upaya dicurahkan semata-mata untuk menyerang lawan dari paradigma lain dengan berondongan kata-kata yang berlebih-lebihan. Seharusnya kita mencurahkan waktu sesedikit mungkin untuk menyerang lawan dan sebanyak-banyaknya untuk memahami pendapat mereka. Kita sudah semestinya mulai memahami bagaimana caranya memanfaatkan pemikiran paradigma lain guna mengembangkan perspektif yang lebih menyatu.
BAB VI
Menuju Paradigma Sosiologi
Yang Terpadu
Paradigma Sosiologi yang terpadu
itu harus menjelaskan :
- kesatuan makro-obyektif seperti birokrasi,
- struktur makro-subyektif seperti kultur,
- fenomena mikro-obyektif seperti pola-pola imteraksi sosial, dan
- fakta-fakta mikro-subyektif seperti proses pembentukan realitas.
Paradigma fakta sosial memusatkan
perhatian terutama kepada realitas sosial pada tingkatan makro-obyektif dan
makro-subyektif. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian kepada realitas
sosial pada tingkatan mikro-subyektif dan sebagai mikro-obyektif yang
tergantung kepada proses-proses mental (tindakan). Paradigma perilaku sosial
menjelaskan sebagian realitas sosial pada tingkatan mikro-obyektif yang tak
tercakup kepada proses mental atau proses berfikir, yakni yang menyangkut
tingkahlaku yang semata-mata dihasilkan stimuli yang dating dari luar diri
actor, yang disini disebut sebagai ‘behavior’ itu.
KESIMPULAN
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan
berparadigma banyak, mengapa dikatakan demikian? hal ini dikarenakan, antara
paradigma yang satu dengan paradigma yang lain terdapat perbedaan bahkan
pertentangan pandangan tentang disiplin sosiologi sebagai suatu kebulatan dan
tentang batas-batas bidang paradigma itu masing-masing. Dalam bidang ilmu ini
terdapat bebrapa paradigma yang memaparkan dan menjelaskan cabang-cabang
paradigmanya dan spsesifikasi bidangnya masing-masing. Setidaknya terdapat 3
paradigma yang mendasari ilmu sosiologi ini diantaranya :
- Paradigma Fakta Sosial, yang dibagi lagi menjadi dua objek kajian :
- struktur sosial, dan
- pranata sosial
- Teori Aksi (action theory),
- Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan
- Fenomenologi (Phenomenology).
3. Paradigma Perilaku Sosial,
terbagi menjadi dua teori diantaranya :
- Behavioral Sociology Theory
- Exchange Theory
Ketiga paradigma teori tersebut
telah dipaparkan penjelasannya diatas beserta dengan cabang-cabang teori yang
mendukung kostrruk paradigmanya. Selain itu juga banyak spesifikasi yang
diberikan oleh para ahli dalam memberikaj suatu asumsi-asumsi terhadap
paradigma tersebut dengan penjelasannya masing-masing.
Tanggapan
Substansi buku ini telah dapat
dikatakan sempurna dikarenakan Ritzer mengangkat tema-per temanya sesuai dengan
penjelasan yang tepat diberikan oleh para ahli dibidangnya masing-masing. Dalam
buku ini Ritzer pun tak jarang memberikan bantahan-bantahannya, atau bahkan
terkadang memberikan komparatif terhadap satu paradigma dengan paradigma
lainnya. Namun mungkin yang ada adalah kelemahan dari penyadurnya, dimana buku
yang diterjemahkannya ini masih terdapat seringkali keruwetan dalam penggunaan
tanda baca. Dan juga seperti apa yang dituliskan oleh penyadurnya yaitu
kelemahan dari buku yang disadurnya adalah berpangkal dari keterbatasan dan
kemampuan dalam mencernakan ‘grand theories’ dari Ritzer ini.
Sumber Resume :
Ritzer, George, Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda ( penyadur : Drs. Alimandan ), CV.
Rajawali, Jakarta: Januari 1985
No comments:
Post a Comment