Tuesday 17 December 2013

"Membangun Demokrasi dalam Kerangka Etika"

Berangkat dari pemahaman mengenai demokrasi bahwa demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal. Bahkan mungkin dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung dari penganut demokrasi itu sendiri. Kedudukan demokrasi yang juga merupakan sentral telah menjadi nilai tawar untuk meluluhlantakkan teori-teori lainnya mengenai tatanan kekuasaan yang baik yang ditawarkan oleh kalangan filsuf, ahli hukum, dan pakar ilmu politik.

Kepercayaan atas kuat dan sempurnanya bangunan demokrasi belum dapat tergoyahkan secara filosofis, sosiologis maupun dalam format yuridis ketatanegaraan. Kedudukan dari demokrasi itu sendiri juga diperkuat dengan konsep lainnya yaitu human right, civil society, maupun konsep good governance membuat posisi demokrasi sebagai konsep terbaik yang pernah dicapai oleh pemikiran manusia. Demokrasi juga merupakan sebagai suatu teori yang dapat diterima dalam beberapa pandangan.

Disamping hal tersebut, demokrasi juga diyakini memiliki prinsip-prinsip universal yang merupakan ciri dari keberadaan demokrasi itu sendiri. Prinsip-prinsip universal tersebut yaitu adanya: (i) kebebasan, (ii) kesamaan, (iii) kedaulatan dari suara mayoritas. Prinsip kebebasan dan kesamaan dilaksanakan melalui metode kalkulasi kuantitatif yaitu "majority principle" atau melalui "voting". Yang merupakan salah satu ciri penting dari adanya prinsip kebebasan, kesetaraan dan kedaulatan suara mayoritas (rakyat) adalah dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu). Selain dari itu, adanya hubungan kekuasaan yang dimasukkan di dalam kerangka metode kalkulasi kuantitatif. dalam hal tersebut bahwa objektititas dari konstruksi keputusan dari teori demokrasi yang dianggap benar dan adil itu sendiri didasarkan pada kuantitasnya dan bukan berdasarkan pada kualitasnya. Hal ini memberi arti bahwa pelaksanaan dari demokrasi menggunakan pendekatan kuantitatif dan logika induktif empiris sebagai jalan keluar dari penataan kekuasaan yang kompleks. Pemecahan konkrit tentang penentuan dari kehendak umum secara nyata dicapai dan diukur lewat kehendak mayoritas yang dimana mekanisme voting menjadi faktor determinan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa arti dari kedaulatan rakyat tidak diartikan sebagai kehendak dari seluruh rakyat melainkan kehendak dari suara terbanyak atau mayoritas.

Pemahaman dari demokrasi dalam batas-batas kedaulatan mayoritas semata membuat fenomena kekuasaan akan lebih terlihat nyata dimana terjadi kedaulatan mayoritas atas ketundukan minoritas. Voting dan kuantifikasi menjadi tolak ukur untuk menemukan kebenaran dan keadilan versi mayoritas yang pada akhirnya akan menjadi substansi hukum yang dalaksanakan untuk dan atas nama dari kepentingan bersama. Metode tersebut juga menjadi pembenaran dari tindakan politik karena dianggap menjadi suatu proses demokrasi yang beradap dan menjadi janji untuk menjamin hak minoritas suara hanya akan masuk sebagai daftar tunggu (waiting list) yang bisa dilaksanakan ataupun yang tidak bisa dilaksanakan dalam konteks kepentingan politik.

Dari hal tersebut bahwa sepanjang demokrasi hanya dalam batas-batas rasionalisasi dari kedaulatan mayoritas semata, maka demokrasi akan selalu diartikan pembenaran atas fenomena kekuasaan, sebagai refresentasi rezim elit politik atas nama mayoritas dengan menggunakan hukum sebagai alat legitimasi dan alat untuk memobilisasi rakyat (massa). Demokrasi juga dapat menjadi perangkat praktis yang berpeluang untuk memberlakukan hal-hal yang tidak adil, tidak etis dan serta atas pelanggaran atas martabat manusia. Dalam demokrasi dimana hukum tidak menempati moralitas di dalamnya, dan hukum hanya sebagai alat rezim elit politik yang berkuasa atas nama mayoritas. Pemahaman konvensional atas nama demokrasi telah menunjukkan kelemahan yang fundamental dari demokrasi sebagai teori politik modern.

Namun sebagai langkah solutif bahwa demokrasi akan menghasilkan keputusan etis apabila dilandasi dan diformat dalam kerangka etika dasar yang utuh dimana rakyat harus dibimbing secara etis sebelum membuat keputusan-keputusan yang signifikan bagi pengembangan potensi kemanusiaan secara universal. Metodologi dari demokrasi perlu dikembangkan ke arah penyelamatan nilai-nilai kemanusiaan sebagai tujuan esensial dari prosesnya. Suara terbanyak atau hukum mayoritas harus digantikan dengan kesepakatan musyawarah dari enlightened people (orang-orang yang tercerahkan: negarawan) yang ditunjuk menjadi wakil. Negara seharusnya mendirikan lembaga pendidikan khusus yang dapat menghasilkan orang-orang yang memiliki kompetensi untuk mengurusi negara secara adil dan profesional.

Hal yang seharusnya diutamakan atau hal esensial adalah demokrasi harus dapat membawa pada keadilan yaitu keadilan politik, keadilan ekonomi, keadilan sosial dan kultural. Mestilah butuh perenungan dan upaya maksimal , bahwa dengan adanya keadilan maka akan menyelamatkan manusia pada kehidupan dan martabat manusia. Keadilan akan membawa pada kemakmuran yang bermakna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa "Jika demokrasi tidak membawa kondisi keadilan padanya, maka kita tidak menemukan apapun dari yang dinamakan demokrasi"


No comments:

Post a Comment