Jakarta
(ANTARA News)
Selasa, 12 Juni 2012 22:59 WIB
Judul tulisan ini terinspirasi dari artikel Sdr. Yusril
Ihza Mahendra berjudul "Wamen Versi Baru Tetap Membingungkan" di harian
Seputar Indonesia pada 11 Juni 2012.
Setelah
kami cermati tulisan tersebut, "kebingungan" itu tampaknya berakar pada
ketidakpuasan Sdr. Yusril atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
79/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitas Pasal 10 UU Nomor 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Hal itu
tercermin dari pandangan beliau dalam artikel tersebut, "...Kebingungan
yang disebabkan oleh pengaturan yang tidak jelas dalam UU Kementerian
Negara itu diatur sendiri oleh Perpres 60/2012".
Itu
dapat dimaklumi mengingat Yusril memang saksi ahli pemohon dalam
perkara pengujian UU Nomor 39 Tahun 2008 terhadap UUD 1945, yang intinya
berpendapat bahwa pengangkatan wakil menteri oleh Presiden tidak
sejalan dan bertentangan dengan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3), serta Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Pendapat saksi ahli tersebut sudah ditimbangi oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Akan
tetapi MK menyimpulkan, tidak terdapat masalah pada konstitusionalitas
Pasal 10 (batang tubuh) UU Kementerian Negara. Yang dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 adalah Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian
Negara yang berbunyi: "Yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah
pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet".
Karena
itu, Pasal 10 UU Kementerian Negara yang berbunyi: "Dalam hal terdapat
beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat
mengangkat wakil menteri pada Kementerian tertentu" adalah
kostitusional, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Konstruksi berpikir
Sebelum
sampai pada Amar Putusannya, dalam pendapatnya, dengan akurat MK
membangun konstruksi berpikir yang sistemik tentang kedudukan Presiden
dalam sistem Pemerintahan berdasarkan UUD 1945.
Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Pasal
4 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: "Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.", sementara Pasal 17
ayat (2) berbunyi: "Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden".
Bertolak dari Pasal 4 ayat (1) dan
Pasal 17 ayat (2) dari UUD 1945 tersebut, MK sampai pada pendapat bahwa
pengangkatan wamen adalah bagian dari kewenangan Presiden dalam
melaksanakan tugas-tugasnya. Baik diatur maupun tidak diatur dengan UU.
Pengangkatan
wamen sebenarnya merupakan bagian dari kewenangan Presiden, sehingga
dari sudut substansi tidak ada masalah konstitusionalitas dalam konteks
ini. Pendapat MK itu membuat terang hak konstitusional Presiden untuk
mengangkat wamen sekalipun tidak ada UU yang mengaturnya, bahkan
sekalipun ada uji materi terhadap UU Kementerian Negara.
Sdr.
Yusril berpandangan bahwa wamen tidak memiliki kedudukan yang jelas
karena tidak ada dalam struktur organisasi Kementerian Negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 39 Tahun
2008.
Pandangan ini sebetulnya sudah tidak
relevan karena sudah terjawab melalui pendapat MK yang menyatakan bahwa
norma dari Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 merupakan ketentuan khusus
dari Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU a quo yang tidak mencantumkan
Wamen dalam susunan organisasi Kementerian Negara.
Alasannya,
"...oleh karena UU tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud beban
kerja yang membutuhkan penanganan khusus", maka menurut MK hal tersebut
menjadi wewenang Presiden untuk menentukannya.
Pasal
10 UU Nomor 39 Tahun 2008 yang berbunyi, "Dalam hal terdapat beban
kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat
mengangkat wakil menteri pada Kementerian tertentu", mengisyaratkan satu
amanat bahwa jabatan Wamen tidak otomatis ada pada seluruh Kementerian
Negara.
Sehingga, apabila Sdr. Yusril memandang
keberadaan Wamen harus merujuk pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat
(2) UU Nomor 39 Tahun 2008, maka hal itu dapat diartikan mendorong pada
situasi agar seluruh Kementerian Negara memiliki wamen. Kalau itu yang
menjadi tujuannya, berarti ada keinginan untuk mengubah UU Nomor 39
Tahun 2008.
Menghindari matahari kembar
Pertanyaan mengenai dimana sesungguhnya kedudukan wamen pasca keluarnya putusan MK adalah pertanyaan yang relevan.
Pendapat
MK dalam Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011 telah mengisyaratkan bahwa
jabatan wamen bersifat politis karena sumber rekrutmennya dapat berasal
dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/Polri, bahkan juga warga negara
biasa.
Atas dasar pendapat MK tersebut,
Presiden dengan kewenangannya, mengeluarkan Perpres Nomor 60 Tahun 2012
tentang Wakil Menteri, yang menempatkan posisi wamen tersebut berada di
bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri (Pasal 1).
Wakil
menteri mempunyai tugas membantu menteri dalam "memimpin" pelaksana
tugas Kementerian Negara (Pasal 2 ayat (1)). Karena tugas wamen adalah
membantu untuk "memimpin", maka berdasarkan Pasal 2 ayat (1) wamen
ditempatkan pada posisi pimpinan. Tetapi posisi pimpinan di sini
ditempatkan pada layer "supporting to the authority of the Minister".
Kedudukan
wamen berdasarkan Perpres Nomor 60/2012 tersebut memang tidak sama
dengan menteri muda sebagaimana diberikan dalam contoh perbandingan dari
Sdr. Yusril yang merujuk masa pemerintahan Presiden Soeharto di mana
terdapat Menteri Muda Pemuda dan Olah Raga dalam Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Jika kita ingin berbaik sangka,
maka suatu kesempatan yang baik sebetulnya untuk melihat objektivitas
dari keberadaan menteri muda pada masa itu.
Dalam
pandangan kami, keberadaan menteri muda itu justru menimbulkan
"matahari kembar" dalam satu kementerian, sehingga dampak yang terjadi
kemudian adalah terjadinya pemekaran Kementerian Pemuda dan Olah Raga
yang terpisah dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kondisi
"matahari kembar" inilah yang justru ingin dihindari Presiden sehingga
desain wamen saat ini diposisikan berada dan bertanggungjawab kepada
menteri, sehingga apabila ada pandangan yang menghendaki kedudukan wamen
saat ini harus disamakan dengan kedudukan menteri muda pada masa
Presiden Soeharto itu, artinya kita tidak belajar dari sejarah.
Tak perlu pemberhentian
Bahwa
pendapat-pendapat MK dalam Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011 (dalam dokumen
tertulis) justru menjadi acuan utama dalam penerbitan Perpres Nomor 60
Tahun 2012 dan Keppres Nomor 65/M Tahun 2012.
Penyusunan
Perpres dan Keppres tersebut tidak didasarkan (dan tidak boleh
didasarkan) pada opini yang berkembang di media massa pascaputusan MK
itu.
Tanpa bermaksud mengabaikan pendapat yang
berkembang di masyarakat, namun opini yang berkembang di media massa
nampaknya tidak sejalan dengan Putusan MK, termasuk pendapat yang
menyertainya.
MK berpandangan bahwa sumber
rekrutmen untuk jabatan wamen dapat berasal dari Pegawai Negeri Sipil,
Anggota TNI/Polri, bahkan juga dapat berasal dari warga negara biasa.
Pandangan
MK ini kami maknai bahwa jabatan wamen menjadi bersifat politis,
sehingga dengan demikian harus ada jangka waktu berakhirnya masa jabatan
wamen, yaitu paling lama sama dengan masa jabatan atau berakhir
bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan pejabat yang mengangkatnya
(Pasal 4 ayat (1)) Perpres Nomor 60 Tahun 2012.
Pembatasan
masa jabatan tersebut juga secara eksplisit disebutkan dalam Keppres
Nomor 65/M Tahun 2012 di mana masa jabatan para wamen yang sudah
diangkat Presiden berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden
periode 2009-2014.
Dengan Keppres Nomor 65/M
Tahun 2012 tersebut dilakukan perubahan atas Keppres yang mengangkat
para Wakil Menteri menurut Keppres Nomor 111/M Tahun 2009, Keppres Nomor
3/P Tahun 2010, Keppres No. 57/P Tahun 2010, dan Keppres Nomor 159/M
Tahun 2011.
Keppres Nomor 65/M Tahun 2012
tersebut tidak memberhentikan (dan tidak perlu memberhentikan) para
wamen pascaputusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 dengan alasan MK sendiri
berpendapat Presiden mempunyai hak eksklusif (yang kami maknai hak
prerogratif) untuk mengangkat Wamen, sekalipun ada atau tidak ada UU
yang mengatur Wamen.
Dengan demikian, semua
Keputusan Presiden yang mengangkat para wamen selama ini adalah sah,
sehingga tidak diperlukan pemberhentian atau pelantikan para Wamen yang
telah diangkat.
(*) Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pada Sekretariat Kabinet.
No comments:
Post a Comment