Thursday 9 October 2014

"Pemikiran Martin Heidegger"

Dasar pemikiran Martin Heidegger yaitu terdapat dua hal, pertama yaitu kekecewaannya atas filsafat barat yang melupakan makna being. Kekecewaan itu lahir dari kesejarahan pemikiran tentang being, yang kemudian menjadi hal yang berubah artinya. Being menjadi hal yang universal tetapi tidak terkonsepkan.

"After all, the term 'Being' has a long history in philosophy as the most universal but indefinable concept and it is also one of those words that is frequently thrown around but, on heidegger's view, rarely understood."
"to repeat his fundamental claim, Being has been understood as thing(s), as objectively present and 'there', and my metaphysical account of reality is then constructed on the basis of this prior understanding of the meaning of Being"

Kedua ialah berasal dari gurunya, Husserl. Yang pertama, Heidegger merasa pencarian filosofis terhadap being dari dulu di awal permulaan filsafat yaitu yunani klasik sampai sekarang, telah tertutupi oleh pencarian filosofis terhadap "ada" itu sendiri. Misalnya dalam pemikiran plato, konsep "ada" telah menutupi konsep being karena semuanya secara telak mau dikembalikan pada dunia idea yang dianggapnya sangat sempurna. Kemudian pemikiran Immanuel Kant, yang ingin menyamaratakan konsep ada dan konsep being, dengan mengembalikannya pada kategorisasinya. Being dan "ada" disatukan dalam satu konsep yang sama. Jadi jelas, konsep being selalu tertutupi oleh konsep "ada". Heideger tak mau dianggap sebagai filsuf eksistensialis, karena ia selalu mendasarkan pada ontologi. Filsafat Barat dianggapnya seakan-akan meminggirkan permasalahan being, karena dianggap tidak layak dipertanyakan atau malah dianggap sudah jelas. Maka dari itu, pertanyaan Heidegger mengenai being menjadi pertanyaan dengan argumentasi sejarah, yaitu sejarah kelupaan atas makna being.

Kemudian yang kedua adalah berasal dari gurunya yaitu Edmund Husserl. Husserl malah kebalikan dari Heidegger, ia tak pernah tertarik pada pertanyaan sejarah filosofis. Malah sebaliknya, semuanya harus dikembalikan kepada deskripsi pengalaman. Tetapi, bagi Heidegger, ini berarti bahwa pemahaman atas pengalaman ialah selalu sudah ada keterkaitannya dengan dunia. Jadi, kesadaran atas pengalaman tersebut ada secara disengaja, dengan arti yaitu selalu menujur atau mengarahkan diri pada dunia.

Hal tersebut dalam fenomenologi disebut sebagai intensionalitas, yaitu keterarahan keluar. Suatu being tak mungkin dapat mengenali dirinya sendiri apabila tak ada dunia eksternal. Hal ini juga mengkritik secara implisit terhadap Cartesian, yang beranggapan bahwa being adalah keterarahan pada diri sendiri, dan meminggirkan dunia luar. Kita bisa mengenal diri kita sendiri, tanpa adanya dunia luar. Seperti subjek yang terarah pada subjeknya sendiri. Padahal, dalam metode keraguan Descartes, pertama-tama ia meragukan dulu hal-hal diluar dirinya, yaitu dunia luar. Segala hal yang ada di dunia luar dapat disangsikan kebenarannya, Jadi, memang pada awalnya selalu ada keterarahan dulu keluar diri. Itulah pandangan Heidegger dimana kesadaran manusia harus ditekankan pada kesadaran subjek yang terarah pada dunia luar. Selalu ada subjek dan objek. Kedua hal itupun harus ditekankan relasinya, dimana selalu ada keterbukaan di keduanya.  Subjek membuka diri dengan kesadarannya dengan keterarahannya keluar, dan objek membuka dirinya agar dapat direfleksikan pada diri. Sehingga kesadaran dalan fenomenologi itu aktif. Berbeda dengan kesadaran dari empirisme atau rasionalisme yang pasif, dan ada yang disebut sebagai kesadaran palsu.

Pemikiran ontologi Heidegger berbeda dengan idealis yang bisa menitikberatkan kepada teorinya terlebih dahulu. Karena fenomenologi selalu menekankan kepada keterikatan terhadap realitas. Manusia itu menemukan dirinya, dunia dan semua ada karena dia adalah mahluk yang bertindak, yang berurusan dengan  segalanya yang ada di sekelilingnya.

Intensionalitas menyebabkan segala yang ada berkaitan dengan ada-ada yang lain. Maka dari itu, keterikatan antara ada dan dunia itu pasti dan satu. Dan Heidegger menyebutnya dengan in-der-welt-sein, ada dalam dunia. Tetapi dalam fenomenologi Heidegger,  berfokus pada being manusia yang harus dibedakan dengan being-being yang lain. Heidegger beranggapan bahwa being manusia ialah makna-ada-yang-mengada-disana, yang ia sebut dengan Das sein. Das sein berbeda dengan ada yang lain, karena ada yang lain dianggap tidak mengada seperti manusia. Ada yang lain biasa disebut dengan Das man, atau pengertiannya ialah being in it self. Tetapi manusia yang disebut  Das sein  memiliki pengertian being for it self, ada yang mengadakan dirinya sendiri, ada yang mempertanyakan suatu ada.  Pertanyaan akan suatu ada selalu muncul oleh suatu mahluk yang mempertanyakannya. Yaitu manusia yang selalu bisa mempertanyakan tentang ada. Jadi, manusia ialah satu-satunya yang dapat mengemukakan pertanyaan tentang ada sekaligus menjawabnya. Memahami suatu ada merupakan hal yang istimewa, yang dampaknyapun istimewa.

In-der-welt-sein bukan hanya sekedar menjadi tempat naungan subjek dan objek, tapi bisa juga menjadi realitas itu. Dalam in-der-welt-sein, manusia pasti menemui benda-benda yang lain. Sedangkan benda-benda sudah tertentukan dan terdeterminasi dalam keberadaannya tersebut. Disinalah yang disebut dengan esensi mendahului eksistensi.  Segala benda telah memiliki esensinya terdahulu sehingga membatasi eksistensinya. Tetapi, manusia itu berlainan dengan benda-benda, karena hanya manusia yang dapat menentukan caranya untuk berada. Berarti disini manusia awalnya tidak memiliki esensi, sehingga manusia mempunyai keluasan untuk memilih sendiri cara keberadaannya/eksistensinya.

Keterlibatan dasein dalam dunia menjadikan dunia sebagai yang terdiri dari banyak benda menjadikan benda itu sebagai hal untuk menyadarkan dirinya sendiri. Sama dengan prinsip intensionalitas, yaitu keterarahan keluar dan keterlibatan secara aktif. Misal dalam analogi yang sangat terkenal dari Heidegger ialah analogi palu. Palu merupakan salah satu benda di dalam dunia ini, dan kita untuk dapat sadar akan diri sendiri melalui palu ini, harus mengenal dan terlibat dengannya. Palu biasa kita kenal sebagai benda yang terbuat dari gagang kayu dan ujungnya besi, yang berguna untuk mengeratkan paku. Tapi kita tak bisa hanya mengenalnya untuk menyadarkan diri sendiri, tapi harus terlibat. Keterlibatan dengan palu itu adalah "saya menggunakan palu itu untuk mengeratkan paku". Hal ini disebut Heidegger dengan ready to hand.

Jadi, benda dalam dunia ini dianggap mempunyai tiga faktor penting. Pertama yaitu benda mempunyai fungsinya masing-masing. Kedua, benda tersebut bertujuan sebagai fungsi untuk dasein. Dan ketiga ialah totalitas  atau equipment. Yaitu, segala benda saling mempunyai guna dan fungsi sehingga membentuk kesatuan instrumentalitas sebagai totalitas.

Ada beberapa hal yang penting dalam pemikiran Heidegger, salah satunya yaitu fallenness atau keterlemparan. Apabila das sein dipertanyakan,  apa yang memungkinkan kedisanaan anda? Maka satu-satunya jawaban ialah ia terlempar di dunia. Kemudian yang kedua ialah faktisitas, yaitu suatu kondisi yang memang sudah terberi dari das sein, kondisi yang tidak mungkin lain dari itu. Keterberian ini berawal dari hubungan ada dengan dunia (in-der-welt-sein) yang memang awalnya telah bermakna/bernama. Kedua hal itu merupakan perwujudan dari keterikatannya dengan in-der-welt-sein secara pasti.

Maka dari itu, das sein juga terikat dengan waktu. Karena waktu ialah hal yang memang sudah terberi dalam dunia ini. Waktu ialah hal yang dapat menyadarkan das man menjadi das sein. Karena dengan kesadarannya terikat dengan waktu, menjadi ingat dengan kematian. Kematian membuat seseorang jadi ingin menjalani kehidupannya secara utuh dengan individualitasnya yang mewaktu dan menyejarah. Saat pencarian individualitas itulah seseorang dapat menjadi das sein.

Lalu bagaimana bentuk eksistensial yang otentik menurut Heidegger? Karena keterlibatan dengan dunia dan waktu adalah hal yang pasti menurut Heidegger, maka pencarian eksistensialis yang metafisis itu tidak benar. Mencari jawaban eksistensial ialah hal yang sia-sia, karena hal itu tak akan pernah dapat menemukan akhirnya. Yang otentik ialah orang yang memang menjalani keterikatannya dengan dunia dan waktu, tetapi tidak tenggelam di dalamnya. Tetap menjalani rutinitas sehari-hari, tetapi tidak tenggelam dan melupakan makna das seinnya sendiri. Karena apabila ia tetap tenggelam dan melupakan dirinya sendiri, maka ia menjadi das man.

Eksistensial yang otentik menurut Heidegger ialah hal yang bisa dipilih. Orang dapat memilih membiarkan dirinya terhanyut oleh rutinitas ataupun tidak. Dan ada juga orang dapat menjadi das man dengan membiarkan dirinya terhanyut oleh kerumunan banyak orang/kelompok. Disini sosialitas dalam eksistensial Heidegger muncul. Orang yang termakan oleh kepentingan kelompok, dan menganggap bahwa identitas dirinya ialah identitas kelompok maka ia bukan das sein. Ia adalah das man, karena ia tidak dapat membedakan dirinya dengan yang lainnya.  Kita juga tetap bisa menjadi das man walau tidak membedakan dirinya dengan yang lain, yaitu karena kita saat itu tidak seutuhnya kita.

Disini muncul permasalahan sosialitas yang lain dalam pemikiran Heidegger. Jika das sein secara pasti terikat  dengan in-der-welt-sein, bukan berarti mengekang individu dalam keterikatannya dengan dunia dan waktu. Malah sebaliknya, individu tersebut bukannya terisolasi, melainkan malah tersosialisasi secara pasti dengan waktu dan dunianya. Berarti juga memiliki keterikatan yang pasti dengan in-der-mit-andern-sein. Yaitu kepastian keterikatan dengan das sein yang lain. Maka, kebebasan tiap individu dalam keterikatannya itu muncul dengan dialektika negosiasi sosial yang ada.

Dalam ready-to-hand pastilah jika ada orang yang menggunakan suatu benda, benda tersebut mungkin juga akan digunakan oleh orang lain. Dari benda-benda yang sudah ada dalam dunia ini, pasti ada juga keterikatan dengan orang lain. Ini artinya bahwa, dunia sudah secara faktisitas dikonsepkan untuk saling share satu sama lain.

Keterbukaan manusia bagi dunia dan bagi sesamanya oleh Heidegger dibagi menjadi tiga, yaitu Befindlichkeit atau kepekaan, Verstehen atau pemahaman, dan Rede atau kata-kata untuk berbicara.

Pertama dalam kepekaan yang dimaksud ialah suatu perasaan atau emosi manusia. Dalam kepekaan ini muncul perasaan yang bukan berasal dari suatu pengamatan terhadap dunia, tetapi memang karena berada-dalam-dunia. Jadi, kepekaan yang memunculkan emosi ini ialah asali ada dalam diri manusia. Walaupun nantinya emosi tiap manusia dapat ditahan, diubah, ataupun diekspresikan, tetapi emosi itu akan selalu dialami oleh manusia.

Kemudian tentang pemahaman, disini bukan berarti pemahaman dalam pengertian yang biasa, tetapi yang dimaksud ialah dasar segala pengertian. Pemahaman/Verstehen ini dikaitkan dengan kebebasan manusia. Berawal dari kesadaran akan manusia yang dapat mengisi sendiri eksistensinya, disini manusia akan dapat menggunakan segala kebebasannya untuk memilih segala kemungkinan yang ada. Tetapi jelas, pemilihan akan eksistensi ini sesuai dengan yang apa manusia itu inginkan. Jadi, manusia akan menggunakan kebebasan ini dengan suatu rencana yang sudah dipahami secara jelas. Berarti, Verstehen ini ialah cara berada manusia.


Yang terakhir ialah Rede atau bicara. Kata kata merupakan sarana komunikasi tiap manusia, yang sedang saling membentuk eksistensinya masing-masing. Tetapi, melalui pembicaraan, manusia dapat juga kehilangan eksistensinya. Misalnya karena ia termakan oleh pembicaraan orang lain, meniru pendapat orang lain, dan lain-lain. Pembicaran yang telah kian meluas akan menjadi pandangan banyak orang, dan biasanya Das sein termakan oleh ini dan menjadi dasman, yaitu menggantungkan pilihannya terhadap yang lain.

Eksistensialisme yang ditimbulkan oleh analitik dari Heidegger ini sangatlah berguna dalam kehidupan kita. Karena memang pada dasarnya kita tidak akan bisa hidup tanpa apa yang ada dalam sekitar kita. Yang menjadi kekaguman saya ialah, bagaimana panjangnya proses dari pemikiran ontologi melebar sampai pada eksistensialisme, dan sangat berbobot. Padahal, pada awalnya Heidegger hanyalah mendeskripsikan tentang apa yang ada secara sejelas-jelasnya. Dia hanya memberikan analisisnya secara jelas tentang apa itu ada, apa saja jenis-jenis ada, bagaimana ada itu mengada dan sebagainya. Dari pada para pemikir filsafat barat dari dulu yang selalu berbicara tentang ada, tetapi tidak mempunyai perluasan kepada eksistensial manusia, bahkan tidak pernah terkonsepkan secara jelas. Disini sistematika filsafat yang terdiri dari tiga hal penting yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi rasanya bisa dicapai dengan pemikiran Heidegger ini. Jadi, walaupun Heidegger adalah seorang filsuf di abad setelah modern, dia masih memiliki spirit yang sama dengan zaman modern, yaitu komprehensif dapat merangkum tiga hal dalam sistematika filsafat itu. 

No comments:

Post a Comment