Sejarah peradapan Barat memiliki perjalanan
yang amat panjang dan berliku. Setelah sekian lama manusia Barat terkungkung
dalam kebodohan akibat ulah mayoritas rohaniawan Kristen yang selalu mengatasnamakan
agama dalam perilaku yang tidak sesuai dengan akal dengan berdalih sakralitas
yang tidak bisa diganggu gugat, mereka mengadakan pemaksaan dogma-dogma
sakralitas ke benak setiap manusia Barat. Pemerkosaan keyakinan dan pembunuhan
intelektual, itulah kata ekstrim dalam menggambarkan situasi zaman itu. Masa
kegelapan (dark ages), itulah istilah yang sering dipakai manusia Barat ketika
mengingat masa suram abad pertengahan (Midle Ages, 325-1300). Tekanan demi
tekanan yang dilakukan penguasa Gereja ibarat bom waktu yang sewaktu-waktu bisa
meledak dan membinasakan mereka.
Selain dogma agama yang mereka sampaikan tidak
memberi jalan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan tak jarang dogma-dogma
itu bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang berkembang. Sementara disisi
lain, perilaku mereka yang tidak konsekuen atas ajaran agama yang selama itu
digembor-gemborkan semakin membuat muak para manusia Barat. Diam-diam para
intelektual Barat mengumpulkan daya dan upaya untuk lepas dari belenggu para
rohaniawan Kristen. Para ilmuwan mulai mengais-ngais kembali budaya Yunani
klasik di kantung-kantung peradaban yang selama ini terlupakan. Pada akhirnya,
awal abad ke-14 adalah puncak protes manusia Barat, mereka mengadakan
pergolakan besar-besaran sebagai reaksi atas prilaku Gereja dengan mengadakan
gerakan pembaharuan, perombakan budaya. Renaissance, itulah puncak pergolakan
yang selama ini mereka nantikan. Lepas dari belenggu pembodohan dan bebas dari
ikatan-ikatan dogmatis agama yang tak jarang bersifat irrasional, mereka
ibaratkan bagai terlahir kembali.[1] Namun, kenyataannya, kebebasan radikal
tidak lebih baik dari belenggu pembodohan, dua hal yang telah keluar dari garis
netral.
Berbagai isme-isme bermunculan di Barat ibarat
cendawan di musim hujan, membuat semakin bingung banyak kalangan. Tidak hanya
manusia Timur, bahkan manusia Barat sendiri banyak terjebak dalam kebingungan
tersebut. Belum lagi menyelesaikan kendala-kendala epistemologis masa
‘enlightenment’ (age of reason) yang masih “bermasalah”, mereka sudah
dibenturkan pada masalah batas kemampuan rasio manusia dalam konsep humanisme.
Belum lagi tuntas penentuan batas liberalitas kehendak manusia, mereka telah
dihadang dengan permasalahan baru, modernisme. Belum lagi teori modernisme
terpecahkan secara tuntas, dimunculkan ide baru, postmodernisme. Dari sini,
banyak sekali kecurigaan muncul, ada apa dengan isme-isme tersebut? Apakah
gerangan di balik dimunculkannya isme-isme tadi? Adakah manusia Barat hanya
sekedar ingin bermain-main dengan isme-isme tadi, ataukah ada target di balik
semua itu? Apa kaitan postmodernisme dengan kita sebagai manusia beragama?
Tulisan ringkas ini, akan menganalisa postmodernisme yang terhitung isme
terakhir dari sekian isme lain yang dimunculkan oleh manusia Barat.
Postmodernisme
Istilah postmodernism, pertama kali
dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939.[2] Kendati sampai saat
ini belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut
berhasil menarik perhatian banyak orang di Barat.[3] Pada tahun 1960, untuk
pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak
pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J. Francois Lyotard,
salah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia
berhasil menggarap karyanya yang berjudul “The Post-Modern Condition” sebagai
kritikan atas karya “The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan
hasil karya masa Modernitas. Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah
disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut.
Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran
berpikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berpikir akibat
ketidakjelasan akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Banyak versi dalam mengartikan istilah
postmodernisme ini. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard
beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak
berhasil mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi seperti
Jameson beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas seperti
yang diungkap Bryan S. Turner dalam Theories of Modernity and
Post-Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua
kelompok tadi tentang memahami Post-modernisme. Satu mengatakan, konsep
modernisme sangat berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradoks,
sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari
modernisme, yang mana tidak mungkin kita dapat masuk jenjang postmodernisme
tanpa melalui tahapan modernisme. Dari pendapat terakhir inilah akhirnya
postmodernisme dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain: Post-Modernism
Ressistace, Post-Modernism Reaction, Opposition Post-Modernisme dan Affirmative
Post-Modernism.[4]
Akibat dari perdebatan antara dua pendapat di atas, muncullah
pendapat ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang kontradiktif
tadi. Zygmunt Bauman dalam karyanya yang “Post-Modern Ethics” berpendapat, kata
“Post” dalam istilah tadi bukan berarti “setelah” (masa berikutnya) sehingga
muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti di atas tadi. Menurut Bauman,
postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman
modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari
kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari
prasangka (insting,wahm) belaka.
Asas Pemikiran Postmodernisme
Berbagai isme dan aliran pemikiran lain di
Barat selalu bertumpu dan berakhir pada empat pola pemikiran; epistemologi
materialisme, humanisme, liberalisme dan sekularisme. Tidak terkecuali dengan
postmodernisme. Dikarenakan manusia Barat berpikir atas dasar epistemologi
materialis sehingga berakhir pada anggapan bahwa (jenis) manusia adalah simbol
kesempurnaan. Dikarenakan manusia adalah eksistensi sempurna, maka ia dianggap
tolok ukur dan kutub semua eksistensi dan sebagai micro-cosmos. Dari sinilah
muncul pemikiran Humanisme. Ungkapan “aku berpikir, maka aku ada” adalah
perwujudan dari pemikiran di atas. Karena manusia memiliki rasio, maka ia bisa
menjadi poros alam. Jadi Rasiolah yang menjadi pusat kesempurnaan manusia.
Selain itu, manusia juga memiliki ‘kebebasan berkehendak’ (free will) yang
tidak boleh dihalangi, demi kemajuan manusia. Maka berdasarkan rasio dan
kebebasan inilah muncul pemikiran liberalisme yang berarti meminimilir secara
optimal batas gerak manusia. Pembatas gerak manusia dapat terwujud dalam
berbagai bentuk; adat istiadat, kebiasaan maupun norma agama. Dari situ
dimunculkan Sekularisme yang berarti pembatasan dan meminimilir campur tangan
agama pada kehidupan manusia.
Walaupun muncul berbagai persepsi yang
berbeda-beda tentang postmodernisme, namun ada satu kesamaan di antara semua
persepsi tadi, asas-asas pemikiran postmodernisme. Selain bertumpu pada empat
hal di atas, aliran ini juga bertumpu pada enam hal dibawah ini, yang mana
antara satu dengan yang lain terdapat kaitan yang amat erat:
Pertama:
Penafian atas
ke-universal-an suatu pemikiran (totalism). Para penganut postmodernisme beranggapan,
tidak ada realita yang bernama rasio universal. Yang ada adalah relativitas
dari eksistensi plural. Oleh karenanya, mereka berusaha merubah cara berpikir
dari “totalizing” menuju “pluralistic and open democracy” dalam segala aspek
kehidupan, termasuk berkaitan dengan agama. Dari sini dapat diketahui, betapa
postmodernisme sangat bertumpu pada pemikiran individualisme sehingga dari
situlah muncul relativisme dalam pemikiran seorang postmodernis.
Kedua:
Penekanan akan
terjadinya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara
terus-menerus, sebagai ganti dari permanen (tsabat) yang amat mereka
tentang. Manusia postmodernis beranggapan, hanya melalui proses berpikir yang
dapat membedakan manusia dengan makhluk lain. Oleh karena itu, jika pemikiran
manusia selalu terjadi perubahan, maka perubahan tadi secara otomatis akan
dapat menjadi penggerak untuk perubahan dalam disiplin lain. Dari sini jelas
sekali bahwa postmodernisme menolak segala bentuk konsep fundamental bersifat
universal yang memiliki nilai sakralitas dan yang menjadi tumpuan konsep-konsep
lainnya. Manusia postmodernis diharuskan selalu kritis dalam menghadapi semua
permasalahan, termasuk dalam mengkritisi prinsip-prinsip dasar agama.
Ketiga:
Pengingkaran atas
semua jenis ideologi. Selayaknya dalam konsep berideologi, ruang lingkup dan
gerak manusia akan selalu dibatasi dengan mata rantai keyakinan prinsip yang
permanen. Sedang setiap prinsip permanen dengan tegas ditolak oleh kalangan
postmodernis. Oleh karenanya, manusia postmodernis tidak boleh terikat pada
ideologi permanen apapun, termasuk ideologi agama.
Keempat:
Pengingkaran atas
setiap eksistensi obyektif dan permanen. Atas dasar pemikiran relativisme yang
mereka yakini, manusia postmodernis berusaha meyakinkan bahwa tidak ada tolok
ukur sejati dalam penentuan obyektifitas dan hakekat kebenaran. Tuhan yang
dianggap sakral oleh manusia agamis pun mereka ingkari. Ungkapan Nietzsche “God
is Dead” atau ungkapan lain seperti “The Christian God has ceased to be
believable”, terus merebak dan semakin digemari oleh banyak kalangan di banyak
negara Barat, sebagai bukti atas usaha propaganda mereka.[5] Ingat, ungkapan
mereka tidak hanya berkaitan dengan agama Kristen, namun akan mereka
generalisasi kesemua agama, termasuk Islam.
Kelima:
Kritik tajam atas
semua jenis epistemologi. Kritik tajam secara terbuka merupakan asas pemikiran
filsafat postmodernisme. Pemikiran ataupun setiap postulat yang bersifat
prinsip yang berkaitan dengan keuniversalan, kausalitas, kepastian dam
sejenisnya akan diingkari. Berbeda halnya pada zaman Modernis, semua itu dapat
diterima oleh manusia modernis. Tentu, hal itu bukan berarti bahwa semua
pemikiran yang dulu terdapat pada masa modernisme ditolak mentah-mentah oleh
postmodernisme. Rencana postmodernisme pada kasus tersebut adalah dalam rangka
mengevaluasi kembali segala pemikiran yang pernah diterima pada masa
modernisme, dengan cara mengkritisi dan menguji ulang. Henry Girao, seorang
interpretator postmodernisme mengatakan, “Tugas filsafat adalah untuk
meminimilir kedekatan jarak antara modernisme dan postmodernisme, terutama
dalam bidang tujuan maupun target pendidikan dan pengajaran.”[6]
Keenam:
Pengingkaran akan
penggunaan metode permanen dan paten dalam menilai maupun berargumen. Dengan
kata lain, para manusia postmodernis cenderung menggunakan metodologi berpikir
“asal comot” tanpa dasar standar logika yang jelas. Konsep berfilsafat dalam
era postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis pondasi
pemikiran. Mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk pondasi
pemikiran filsafat tertentu. Hal ini mereka lakukan demi menentang kaum
tradisional yang selama ini mereka anggap tidak memiliki pemikiran maju karena
mengacu pada satu asas pemikiran saja. Padahal tanpa mereka sadari, pengadopsian
berbagai pondasi pemikiran sangat rawan dalam kesalahan berpikir. Berapa banyak
paradok terjadi antara pemikiran filsafat satu dengan yang lain. Itulah yang
sekarang ini dihadapi oleh para pendukung postmodernisme, paradoksi pemikiran.
Untuk menutupi rasa malunya, para pendukung postmodernisme –seperti Rorty-
menganggap bahwa apa yang mereka dapati sekarang ini adalah apa yang disebut
dengan post philosophy, puncak perbedaan dengan filsafat modernis. Dengan jenis
filsafat inilah, mereka ingin meyakinkan masyarakat Barat bahwa dengan
berpegangan dengan konsep dan ideologi tersebut mereka akan dapat meraih
berbagai hal yang menjadi impian dalam kehidupannya.[7] Namun, mereka tetap
tidak dapat lari dan bersembunyi dari segala bentuk paradoksi pemikiran yang selalu
menghantui dan menghadangnya.
Analisa atas Dasar-Dasar Pemikiran Postmodernisme
Dari enam asas utama postmodenisme di atas dapat diketahui,
betapa manusia postmodernis memandang sesuatu selalu melalui sudut pandang
idealis, bukan realis. Tentu, pada tataran realita tidak mungkin akan kita
dapati praksis yang sesuai dengan teori yang berasas hal-hal di atas. Jika
setiap orang tetap akan memaksakan pengaplikasian di alam realita, niscaya
kehancuran yang bakal terwujud, bukan perdamaian. Bagaimana mungkin seseorang
tidak boleh dibatasi oleh suatu hal prinsip yang permanen, atau berpikir benar
tanpa landasan standar logika yang pasti. Sedang banyak hal-hal prinsip dan
paten (permanen) yang secara ‘necessary preponderances’ (badihiaat-awwaliyaat)
harus diterima oleh manusia yang berakal sehat. Karena segala prinsip logika
untuk menjadi kebenaran pasti harus kembali kepada tata cara penerapan
‘silogisem’ (qiyas) dengan bentuk ‘demonstratif’ (burhan), sedang
silogy demonstratif itu sendiri premis-premisnya (mayor-minor) harus dari
sesuatu yang ‘pasti’ (necessary, badihiaat)—sehingga hal tersebut
bisa dijamin kebenarannya, dimana premis pasti ini bertumpu pada kemustahilan
‘bertemunya dua hal paradok’ (ijtima’ an-naqidzain) yang masuk kategori
‘necessary preponderances’ (badihiaat-awwaliyaat). Semua itu telah
dibahas secara rinci dalam ilmu logika.
Jika dilihat dari sisi epistemologis, skala
berpikir yang disodorkan oleh teori postmodernis sangatlah dangkal. Banyak
paradoksi yang akan kita dapati dari teori tersebut, jika dipaksakan pada
dataran praksis akan terjadi apa yang disebut dengan “nihilisme”, kekosongan.
Kosong dari prinsip, ideologi, argumentasi rasional, logika sehat, pemahaman
teks, konsep beragama dsb. Menurut keyakinan postmodernisme, tidak ada satu hal
pun yang bersifat universal dan permanen. Sedang disisi lain, doktrin mereka,
manusia selalu dituntut untuk selalu mengadakan pergolakan. Lantas, bagaimana
mungkin manusia akan selalu mengadakan pergolakan, sementara tidak ada tolok
ukur jelas dalam penentuan kebenaran akan pergolakan? Bagaimana mungkin manusia
selalu mengkritisi segala argumentasi yang muncul, sedang tidak ada tolok ukur
kebenaran berpikir? Bagaimana mungkin manusia bisa beragama, sedang konsep
beragama harus dibarengi dengan keimanan, sementara menurut postmodernis tidak
ada keimanan dan keyakinan universal dan permanen? dan masih banyak lagi
persoalan-persoalan yang bisa dimunculkan dari asas-asas dasar postmodernisme.
Salah satu masalah prinsip yang bisa
dilontarbalikkan kepada para pendukung aliran ini adalah; adakah asas-asas
postmmodernisme di atas pun bersifat universal atau permanen? Pasti berdasar
pondasi pemikiran mereka jawabannya negatif, berarti postmodernisme tidak
memiliki asas-asas yang jelas (baca: universal dan permanen). Bagaimana mungkin
akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan
landasannya? Jika jawaban mereka positif, jelas sekali, hal itu bertentangan
dengan statemen mereka sendiri. Sebagaimana postmodernis selalu menekankan
untuk mengingkari bahkan menentang hal-hal yang bersifat universal dan
permanen. Maka atas dasar postmodernisme pula seseorang dapat menggugat
ke-universal-an dan ke-permanen-an asas-asasnya yang telah mereka sepakati.
Jadi, atas dasar pemikiran postmodernisme seorang individu dapat menolak
postmodernisme, hal itu dikarenakan postmodernisme tidak meyakini adanya
prinsip logika yang jelas dalam menentukan tolok ukur kebenaran berpikir,
relativitas kebenaran. Ini salah satu bukti—dari sekian banyak—kerancuan
berpikir dalam konsep postmodernisme.
Lantas, apakah mungkin sebagai manusia
beragama kita dapat menerima konsep tersebut? Para pengikut postmodernisme
meyakini pengetahuan agama tidak berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan
lain yang dihasilkan dari pikiran manusia yang tidak akan lepas dari perubahan.
Kritisi atas semua ajaran agama apapun bentuknya merupakan titik kesamaan
antara budaya modernis dan postmodernis. Oleh karena postmodernisme lebih
radikal dalam menilai agama dibanding dengan modernisme, maka penekanannya atas
sekularisme terhadap beragama lebih besar. Walaupun sebagian pengikut
postmodernisme seperti John Milbank berusaha untuk mencari ‘pembenaran’
berkaitan dengan hubungan antara agama dan konsep postmodernisme, namun
berdasarkan asas-asas postmodernisme yang telah disepakati mereka akan banyak
mendapati berbagai benturan.[8] Semakin kuat tertanam asas-asas postmodernisme
pada diri seseorang, menyebabkan ia semakin jauh dari konsep beragama. Belum
lagi ideologi liberalisme radikal mereka yang terus berusaha untuk meminimilasi
semua pembatas, termasuk batas-batas yang telah ditentukan oleh Tuhan dalam
agama.
Dalam konsep etika menurut kacamata
postmodernisme pun akan dapat ditemui banyak sekali kejanggalan. Penganut
postmodernisme meyakini, kesepakatan etika yang obyektif dan bersifat universal
adalah sesuatu yang mustahil diraih. Hanya kesepakatan kelompok tertentu saja
yang mungkin saja terjadi. Kesepakatan jenis itu saja yang dapat menjadi sumber
dan legalitas hukum. Jadi, sumber dan legalitas hukum bersumber pada demokrasi,
yang berubah-ubah (tidak permanen) sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi.
Dikarenakan penentuan norma etika ditentukan oleh masing-masing
individu—sementara tidak jarang antara setiap individu terjadi perbedaan
persepsi atas dasar latar belakang masing-masing yang mengakibatkan pergesekan,
maka konsep etika merupakan hal subyektif yang bersifat relatif. Jadi, konsep
etika menjadi lebih rumit dan tidak dapat dikenal karena masing-masing individu
bisa mengaku bahwa prilaku dirinya sesuai dengan konsep etika yang sesuai
dengan dirinya. Jika itu diterapkan, dapat diperkirakan apa yang bakal terjadi
di tengah-tengah komunitas manusia yang heterogen.
Singkat kata, terlampau banyak
konsekuensi-konsekuensi pahit yang harus diterima saat menerima konsep
postmodernisme. Yang kasat mata adalah kerancuan berpikir.
Kesimpulan
Banyak pemikiran budaya Barat yang dimunculkan
sebagai reaksi akan ketertindasan mereka pada abad pertengahan. Mereka tidak
mau pengalaman pahit itu terulang kembali. Demi kebebasan berpikir, mereka
korbankan jiwa religiusitas yang terpendam dalam kalbu mereka. Mereka anggap,
dengan memberi peluang besar terhadap kebebasan berpikir untuk meneguk
nikmatnya air kebebasan akan secara otomatis menghilangkan dahaga jiwa religius
yang terdapat dalam diri mereka. Memang, sekilas isme-isme yang mereka bikin
akan memberi angin segar bagi kebebasan berpikir. Namun hakekatnya, kemarau
panjang akan menghantui pikiran religius mereka. Kecenderungan agamis adalah
suatu yang fitri, tidak dapat ditutup-tutupi.
Banyak masyarakat Barat pada akhir-akhir mulai
kembali merindukan ajaran-ajaran agama. Survei akhir-akhir ini menunjukkan,
kecenderungan manusia Amerika dan Eropa terhadap agama kian meningkat. Hal itu
dikarenakan mereka telah melihat, mendengar, bahkan merasakan merasakan, betapa
Liberlisme, Humanisme, Feminisme, Scintisisme dan isme-isme lain tidak dapat
memberikan ketenangan batin buat mereka, bahkan menyengsarakannya. Isme-isme
itu hanya dipakai oleh kalangan tertentu yang merasa kuat untuk menindas
kalangan lain yang lemah atau dianggap lemah. Mereka merindukan agama yang
selain memberi kesejukan buat jiwa religi mereka, yang juga menjanjikan
“kebebasan” dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Bagaimana dengan Islam? Agama Islam bisa
menjadi alternatif ataukah sama saja dengan sisa-sisa warisan agama di Barat?
Dengan tanpa ragu hanya Islam yang mewakili hal tersebut yang berani dengan
sumber-sumber otentiknya meladeni kepuasan rasional dan spiritual manusia.
Al-Quran sebagai sumber utama Islam yang universal dan permanen menyebutkan
tidak kurang dari lima ratus ayat yang menekankan penggunaan dan penghargaan
atas rasio (akal), belum lagi ditambah dengan riwayat-riwayat dari Rasul SAW dan Ahlulbait Nabi as. Itu semua sebagai bukti bahwa betapa Islam sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Sejarah juga
telah mencatat, berapa banyak ilmuwan Islam muncul yang mengusai banyak
disiplin ilmu-ilmu pengetahuan sehingga manusia Barat banyak berhutang budi
kepada mereka sebagaimana diakui oleh Will Durrant dan William M. Watt. Hal
inilah yang kemudian akan menimbulkan ‘kecemburuan’ Barat terhadap Islam.
Puncak kecemburuan tersebut akan berakhir dengan apa yang telah diramalkan oleh
Samuel Huntingtom, “The Clash of Sivilication”. Pertikaian antar kebudayaan,
Barat dan Islam. [ISLAT]
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan
membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas
segala agama (ideologi pen.), walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai“
(at-Taubah:33 dan as-Shaf:9)
Pustaka:
[1]Selengkapnya lihat karya Will Durant, Lucas
yang mengupas sejarah peradaban Barat.
[2]Thomas Docherty, Post-Modernism: A Reader.
[3]Neil J. Flinders, A Restorationist Views
the Modernis/Post-Modernist Debate.
[4]Barry Smart, Modernty, Post-Modernity and
the Present.
[5]Lihat Michael Luntley, Reason, Truth and
Self, The Post-modern Reconditioned.
[6]Lihat Howard Ozmon and Samuel Craver,
Philosophical Foundations of Education.
[7]Lawrence E Cahoone, From Modernis to
Post-Modernis.
[8]Lihat John Milbank, Problematizing the
Secular the Post – Postmedern Agenda “in Shadow of Spirit Postmodern.
No comments:
Post a Comment