Tuesday 24 September 2013

"Kontroversi Mobil Murah"

"Kota yang maju bukan dilihat dari kondisi bahwa orang miskinnya bisa membeli mobil, melainkan ketika orang kayanya menggunakan transportasi publik," kata Enrique Penalosa, Wali Kota Bogota 1999-2002.

Ungkapan bekas Wali Kota Bogota itu menjadi relevan setelah konsep mobil murah dan ramah lingkungan, atau low cost and green car (LCGC), yang diluncurkan pemerintah berkembang menjadi kontroversi.

Tidak kurang dari Wapres Boediono pun ikut mengemukakan pendapat terkait dengan program mobil murah. Dalam kesempatan membuka pameran otomotif terbesar se-Asia Tenggara, Indonesia International Motor Show (IIMS) Ke-21 di JI Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (19/9), Wapres mengatakan melarang masyarakat Jakarta membeli mobil bukanlah solusi untuk mengatasi kemacetan di Jakarta.

Wapres mengungkapkan hal itu setelah Gubernur DKI Joko Widodo atau Jokowi menulis surat kepada Wapres dan menyatakan tidak setuju dengan program pengadaan mobil murah tersebut. Menurut Jokowi, kebijakan mobil murah itu hanya akan membuat jalan-jalan di kota besar yang sudah macet seperti Jakarta akan menjadi lebih macet lagi.

Menurut Wapres, Pemprov DKI bisa melakukan sejumlah kebijakan untuk mengatasi kemacetan di Jakarta seperti peningkatan alat transportasi publik serta penerapan electronic road pricing.

Apalagi industri otomotif Indonesia diharapkan menjadi tulang punggung industri dan industrialisasi masa depan.

Namun, penanganan kemacetan tersebut harus dilakukan secara komprehensif, dari hulu ke hilir. Kebijakan di hulu antara lain tidak mengobral kemudahan orang membeli mobil.

Lalu, belajar dari persoalan penghematan bahan bakar minyak yang selama ini belum sepenuhnya dapat diselesaikan, menjadi bijak jika pemerintah mengkaji ulang kebijakan mobil murah tersebut.

Kebijakan itu juga tidak sejalan dengan program untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang terus melambung. Memudahkan setiap warga membeli mobil sama artinya mendorong konsumsi BBM ke level yang tidak terbatas. Kendati disebut-sebut sangat irit bahan bakar, tetap saja mobil tersebut bakal menambah konsumsi BBM karena ada pembelian kendaraan baru.

Di sisi lain, defisit neraca perdagangan kita selama ini salah satunya disumbang impor BBM yang semakin besar dari tahun ke tahun. Memudahkan setiap orang membeli mobil sama artinya dengan mendorong agar defisit neraca perdagangan kita semakin lebar.

Kita memahami sepenuhnya kerisauan Jokowi bahwa program mobil murah akan membuat persoalan kemacetan yang sedang dicoba diselesaikan Jokowi menjadi semakin sulit dipecahkan. Karena itu, kita mendesak agar antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI lebih bersinergi terkait dengan isu tersebut.

Pembangunan transportasi publik yang aman, nyaman, dan murah untuk Jakarta harus lebih diutamakan daripada mendorong setiap warga DKI untuk memiliki mobil. Infrastruktur jalan di Jakarta sudah kelebihan kapasitas untuk menampung lebih banyak kendaraan.

Kita memahami bahwa sektor otomotif memang menjadi salah satu penggerak utama roda ekonomi nasional. Karena itu, apa yang diungkapkan Wapres Boediono bukan pernyataan yang mengada-ada. Kita mendorong agar mobil murah itu lebih dipasarkan sebagai produk ekspor yang akan mengurangi defisit neraca pembayaran kita.

Jusuf Kalla: Tak Adil jika Mobil Murah Dilarang

Mantan Wakil Presiden RI, Muhammad Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum PMI pusat, mendukung kebijakan mobil murah di Indonesia. Menurut Kalla, tidak adil jika ada pihak yang melarang dan tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Hal itu menghilangkan hak rakyat berkemampuan pas-pasan yang ingin memiliki mobil.

"Tujuannya untuk melarang atau tidak setuju dengan adanya mobil murah karena dinilai bisa menimbulkan kemacetan, itu boleh-boleh saja, tetapi tidak tepat. Kalau rakyat kecil tak boleh membeli mobil murah, mengapa orang kaya boleh membeli mobil. Bukankah itu juga membuat menambah kemacetan?" tanya Kalla seusai mengikuti Singapore Summit di Singapura, Jumat (20/9) tengah malam. 

Menurut Kalla, sebenarnya program mobil murah cukup baik. Alasannya, pemerintah tidak diskriminatif terhadap rakyatnya. "Sebab, rakyat yang uangnya tak banyak bisa punya kesempatan beli murah dengan harga minimal Rp 70 juta. Jangan hanya orang kaya yang bisa beli mobil," katanya.

Kalla menyatakan, dari sisi keuntungan, para pemasok kendaraan, termasuk dirinya, juga tidak bisa mengambil keuntungan besar jika menjual mobil murah. "Coba hitung kalau keuntungan 5 persen x Rp 70 juta, berapa? Bandingkan dengan mobil mahal yang harganya di atas Rp 200 juta. Tentu, kalau jual mobil mahal, keuntungannya juga jauh sangat besar," ungkapnya.

Dari sisi ukuran, tambah Kalla, mobil murah lebih pendek dan kecil sehingga tidak memakan banyak tempat atau ruas jalan. "Kalaupun dia punya mobil murah dan mahal, kan, tidak semua mobil dipakai jalan semuanya. Yang satu pasti ditinggal di rumah," ujarnya.

Menurut Kalla, agar program mobil murah bisa efektif dan mengurangi kemacetan, pemerintah bisa mengenakan pajak tinggi secara progresif, pengaturan lalu lintas yang baik, dan kenakan biaya parkir yang mahal kalau mobil itu parkir di mal-mal atau tempat umum. "Jadi, tidak usah dilarang karena bisa diskriminatif," tandasnya.

Marzuki: Jangan Kaitkan Mobil Murah dengan Kemacetan

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie mengatakan, sebaiknya tidak dikaitkan antara memajukan industri otomotif oleh pemerintah pusat dan kemacetan di kota-kota besar. Menurut Marzuki, mengatasi kemacetan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Hal ini terkait polemik produksi low cost green car (LCGC) atau mobil murah ramah lingkungan. Kebijakan itu ditentang berbagai pihak, salah satunya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi. Alasan utamannya, LCGC bakal menambah parah kemacetan di kota besar seperti Jakarta.

"Kewajiban pemerintah daerah untuk menyiapkan jalan, transportasi umum dengan sebaik-baiknya. Jangan dikaitkan dengan industrialisasi, ini ngawur kita," kata Marzuki di Jakarta, Sabtu (21/9).

Marzuki mengatakan, pemerintah harus segera mengembangkan industri untuk menghadapi Komunitas Ekonomi ASEAN 2015. Misalnya, jika unggul dalam bidang otomotif, kata dia, maka perlu dikembangkan.

"Kita nanti ada pasar tunggal pada tahun 2015. Jangan nanti pasar ASEAN justru dipenuhi oleh mobil-mobil produk dari negara ASEAN lainnya. Kalau begitu, kita berbahaya nantinya. Kalau kita tidak siap, kita juga akan terima mobil murah dari negara lain. Mau tidak mau, suka enggak suka loh," kata politisi Partai Demokrat itu.

Marzuki menambahkan, industri mobil murah juga bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta membuka lapangan kerja. Jadi, kata dia, jangan dikaitkan dengan kemacetan.

Ketika ditanya apakah program mobil murah itu bertolak berlakang dengan keinginan pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak, Marzuki menjawab, tidak perlu berbicara jangka pendek soal BBM.

"Jangan kita bicara jangka pendek. Ini 2015, kurang dari 2 tahun. Bicara kemacetan itu tugas kita semua, khususnya kepala daerah. Transportasi umum ya disiapkan. Jadi enggak usah diributkan soal industrialisasi. Diributkan, ini membuat rakyat kita jadi bodoh," kata Marzuki.

Jadi, menurut Anda, Jokowi lepas tanggung jawab mengatasi kemacetan? "Saya gak mau komentar itu," jawab kandidat Konvensi Calon Presiden Demokrat itu.

Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) harus mengonsumsi BBM nonsubsidi.

Hal ini sesuai dengan keinginan pemerintah untuk mengurangi kecenderungan kenaikan kuota BBM bersubsidi.

Saat ini pemerintah memang sedang fokus mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi di pasar. Sementara teknis peraturan tentang keharusan mobil murah mengonsumsi BBM nonsubsidi akan diserahkan ke Kementerian Perindustrian. 


(IRIB Indonesia/Metrotvnews/Kompas)

No comments:

Post a Comment