Dasar pemikiran Martin Heidegger yaitu terdapat dua hal, pertama yaitu kekecewaannya atas filsafat barat
yang melupakan makna being. Kekecewaan itu lahir dari kesejarahan pemikiran
tentang being, yang kemudian menjadi hal yang berubah artinya. Being menjadi
hal yang universal tetapi tidak terkonsepkan.
"After all, the term 'Being' has a long
history in philosophy as the most universal but indefinable concept and it is
also one of those words that is frequently thrown around but, on heidegger's
view, rarely understood."
"to repeat his fundamental claim, Being has been understood as thing(s), as objectively present and 'there', and my metaphysical account of reality is then constructed on the basis of this prior understanding of the meaning of Being"
"to repeat his fundamental claim, Being has been understood as thing(s), as objectively present and 'there', and my metaphysical account of reality is then constructed on the basis of this prior understanding of the meaning of Being"
Kedua ialah berasal dari gurunya, Husserl.
Yang pertama, Heidegger merasa pencarian filosofis terhadap being dari dulu di
awal permulaan filsafat yaitu yunani klasik sampai sekarang, telah tertutupi
oleh pencarian filosofis terhadap "ada" itu sendiri. Misalnya dalam pemikiran plato,
konsep "ada" telah menutupi konsep being karena semuanya secara telak mau
dikembalikan pada dunia idea yang dianggapnya sangat sempurna. Kemudian
pemikiran Immanuel Kant, yang ingin menyamaratakan konsep ada dan konsep being,
dengan mengembalikannya pada kategorisasinya. Being dan "ada" disatukan dalam
satu konsep yang sama. Jadi jelas, konsep being selalu tertutupi oleh konsep "ada". Heideger tak mau dianggap sebagai filsuf eksistensialis, karena ia
selalu mendasarkan pada ontologi. Filsafat Barat dianggapnya seakan-akan
meminggirkan permasalahan being, karena dianggap tidak layak dipertanyakan atau
malah dianggap sudah jelas. Maka dari itu, pertanyaan Heidegger mengenai being
menjadi pertanyaan dengan argumentasi sejarah, yaitu sejarah kelupaan atas
makna being.
Kemudian yang kedua adalah berasal dari gurunya yaitu Edmund Husserl. Husserl malah kebalikan dari Heidegger, ia tak pernah tertarik pada pertanyaan sejarah filosofis. Malah sebaliknya, semuanya harus dikembalikan kepada deskripsi pengalaman. Tetapi, bagi Heidegger, ini berarti bahwa pemahaman atas pengalaman ialah selalu sudah ada keterkaitannya dengan dunia. Jadi, kesadaran atas pengalaman tersebut ada secara disengaja, dengan arti yaitu selalu menujur atau mengarahkan diri pada dunia.
Hal tersebut dalam fenomenologi disebut sebagai intensionalitas, yaitu keterarahan keluar. Suatu being tak mungkin dapat mengenali dirinya sendiri apabila tak ada dunia eksternal. Hal ini juga mengkritik secara implisit terhadap Cartesian, yang beranggapan bahwa being adalah keterarahan pada diri sendiri, dan meminggirkan dunia luar. Kita bisa mengenal diri kita sendiri, tanpa adanya dunia luar. Seperti subjek yang terarah pada subjeknya sendiri. Padahal, dalam metode keraguan Descartes, pertama-tama ia meragukan dulu hal-hal diluar dirinya, yaitu dunia luar. Segala hal yang ada di dunia luar dapat disangsikan kebenarannya, Jadi, memang pada awalnya selalu ada keterarahan dulu keluar diri. Itulah pandangan Heidegger dimana kesadaran manusia harus ditekankan pada kesadaran subjek yang terarah pada dunia luar. Selalu ada subjek dan objek. Kedua hal itupun harus ditekankan relasinya, dimana selalu ada keterbukaan di keduanya. Subjek membuka diri dengan kesadarannya dengan keterarahannya keluar, dan objek membuka dirinya agar dapat direfleksikan pada diri. Sehingga kesadaran dalan fenomenologi itu aktif. Berbeda dengan kesadaran dari empirisme atau rasionalisme yang pasif, dan ada yang disebut sebagai kesadaran palsu.
Pemikiran ontologi Heidegger berbeda dengan
idealis yang bisa menitikberatkan kepada teorinya terlebih dahulu. Karena
fenomenologi selalu menekankan kepada keterikatan terhadap realitas. Manusia
itu menemukan dirinya, dunia dan semua ada karena dia adalah mahluk yang
bertindak, yang berurusan dengan segalanya yang ada di sekelilingnya.
Intensionalitas menyebabkan segala yang ada
berkaitan dengan ada-ada yang lain. Maka dari itu, keterikatan antara ada dan
dunia itu pasti dan satu. Dan Heidegger menyebutnya dengan in-der-welt-sein,
ada dalam dunia. Tetapi dalam fenomenologi Heidegger, berfokus pada being
manusia yang harus dibedakan dengan being-being yang lain. Heidegger
beranggapan bahwa being manusia ialah makna-ada-yang-mengada-disana, yang ia
sebut dengan Das sein. Das sein berbeda dengan ada yang lain, karena ada yang
lain dianggap tidak mengada seperti manusia. Ada yang lain biasa disebut dengan
Das man, atau pengertiannya ialah being in it self. Tetapi manusia yang disebut
Das sein memiliki pengertian being for it self, ada yang mengadakan
dirinya sendiri, ada yang mempertanyakan suatu ada. Pertanyaan akan suatu
ada selalu muncul oleh suatu mahluk yang mempertanyakannya. Yaitu manusia yang
selalu bisa mempertanyakan tentang ada. Jadi, manusia ialah satu-satunya yang
dapat mengemukakan pertanyaan tentang ada sekaligus menjawabnya. Memahami suatu
ada merupakan hal yang istimewa, yang dampaknyapun istimewa.
In-der-welt-sein bukan hanya sekedar menjadi
tempat naungan subjek dan objek, tapi bisa juga menjadi realitas itu. Dalam
in-der-welt-sein, manusia pasti menemui benda-benda yang lain. Sedangkan
benda-benda sudah tertentukan dan terdeterminasi dalam keberadaannya tersebut.
Disinalah yang disebut dengan esensi mendahului eksistensi. Segala benda
telah memiliki esensinya terdahulu sehingga membatasi eksistensinya. Tetapi,
manusia itu berlainan dengan benda-benda, karena hanya manusia yang dapat
menentukan caranya untuk berada. Berarti disini manusia awalnya tidak memiliki
esensi, sehingga manusia mempunyai keluasan untuk memilih sendiri cara
keberadaannya/eksistensinya.
Keterlibatan dasein dalam dunia menjadikan
dunia sebagai yang terdiri dari banyak benda menjadikan benda itu sebagai hal
untuk menyadarkan dirinya sendiri. Sama dengan prinsip intensionalitas, yaitu
keterarahan keluar dan keterlibatan secara aktif. Misal dalam analogi yang
sangat terkenal dari Heidegger ialah analogi palu. Palu merupakan salah satu
benda di dalam dunia ini, dan kita untuk dapat sadar akan diri sendiri melalui
palu ini, harus mengenal dan terlibat dengannya. Palu biasa kita kenal sebagai
benda yang terbuat dari gagang kayu dan ujungnya besi, yang berguna untuk
mengeratkan paku. Tapi kita tak bisa hanya mengenalnya untuk menyadarkan diri
sendiri, tapi harus terlibat. Keterlibatan dengan palu itu adalah "saya
menggunakan palu itu untuk mengeratkan paku". Hal ini disebut Heidegger dengan
ready to hand.
Jadi, benda dalam dunia ini dianggap mempunyai
tiga faktor penting. Pertama yaitu benda mempunyai fungsinya masing-masing.
Kedua, benda tersebut bertujuan sebagai fungsi untuk dasein. Dan ketiga ialah
totalitas atau equipment. Yaitu, segala benda saling mempunyai guna dan
fungsi sehingga membentuk kesatuan instrumentalitas sebagai totalitas.
Ada beberapa hal yang penting dalam pemikiran
Heidegger, salah satunya yaitu fallenness atau keterlemparan. Apabila das sein
dipertanyakan, apa yang memungkinkan kedisanaan anda? Maka satu-satunya
jawaban ialah ia terlempar di dunia. Kemudian yang kedua ialah faktisitas,
yaitu suatu kondisi yang memang sudah terberi dari das sein, kondisi yang tidak
mungkin lain dari itu. Keterberian ini berawal dari hubungan ada dengan dunia
(in-der-welt-sein) yang memang awalnya telah bermakna/bernama. Kedua hal itu
merupakan perwujudan dari keterikatannya dengan in-der-welt-sein secara pasti.
Maka dari itu, das sein juga terikat dengan waktu.
Karena waktu ialah hal yang memang sudah terberi dalam dunia ini. Waktu ialah
hal yang dapat menyadarkan das man menjadi das sein. Karena dengan kesadarannya
terikat dengan waktu, menjadi ingat dengan kematian. Kematian membuat seseorang
jadi ingin menjalani kehidupannya secara utuh dengan individualitasnya yang
mewaktu dan menyejarah. Saat pencarian individualitas itulah seseorang dapat
menjadi das sein.
Lalu bagaimana bentuk eksistensial yang otentik
menurut Heidegger? Karena keterlibatan dengan dunia dan waktu adalah hal yang
pasti menurut Heidegger, maka pencarian eksistensialis yang metafisis itu
tidak benar. Mencari jawaban eksistensial ialah hal yang sia-sia, karena hal
itu tak akan pernah dapat menemukan akhirnya. Yang otentik ialah orang yang
memang menjalani keterikatannya dengan dunia dan waktu, tetapi tidak tenggelam
di dalamnya. Tetap menjalani rutinitas sehari-hari, tetapi tidak tenggelam dan
melupakan makna das seinnya sendiri. Karena apabila ia tetap tenggelam dan
melupakan dirinya sendiri, maka ia menjadi das man.
Eksistensial yang otentik menurut Heidegger
ialah hal yang bisa dipilih. Orang dapat memilih membiarkan dirinya terhanyut
oleh rutinitas ataupun tidak. Dan ada juga orang dapat menjadi das man dengan
membiarkan dirinya terhanyut oleh kerumunan banyak orang/kelompok. Disini
sosialitas dalam eksistensial Heidegger muncul. Orang yang termakan oleh
kepentingan kelompok, dan menganggap bahwa identitas dirinya ialah identitas
kelompok maka ia bukan das sein. Ia adalah das man, karena ia tidak dapat
membedakan dirinya dengan yang lainnya. Kita juga tetap bisa menjadi das
man walau tidak membedakan dirinya dengan yang lain, yaitu karena kita saat
itu tidak seutuhnya kita.
Disini muncul permasalahan sosialitas yang lain
dalam pemikiran Heidegger. Jika das sein secara pasti terikat dengan
in-der-welt-sein, bukan berarti mengekang individu dalam keterikatannya dengan
dunia dan waktu. Malah sebaliknya, individu tersebut bukannya terisolasi,
melainkan malah tersosialisasi secara pasti dengan waktu dan dunianya. Berarti
juga memiliki keterikatan yang pasti dengan in-der-mit-andern-sein. Yaitu
kepastian keterikatan dengan das sein yang lain. Maka, kebebasan tiap individu
dalam keterikatannya itu muncul dengan dialektika negosiasi sosial yang ada.
Dalam ready-to-hand pastilah jika ada orang
yang menggunakan suatu benda, benda tersebut mungkin juga akan digunakan oleh
orang lain. Dari benda-benda yang sudah ada dalam dunia ini, pasti ada juga
keterikatan dengan orang lain. Ini artinya bahwa, dunia sudah secara faktisitas
dikonsepkan untuk saling share satu sama lain.
Keterbukaan manusia bagi dunia dan bagi
sesamanya oleh Heidegger dibagi menjadi tiga, yaitu Befindlichkeit atau
kepekaan, Verstehen atau pemahaman, dan Rede atau kata-kata untuk berbicara.
Pertama dalam kepekaan yang dimaksud ialah
suatu perasaan atau emosi manusia. Dalam kepekaan ini muncul perasaan yang
bukan berasal dari suatu pengamatan terhadap dunia, tetapi memang karena
berada-dalam-dunia. Jadi, kepekaan yang memunculkan emosi ini ialah asali ada
dalam diri manusia. Walaupun nantinya emosi tiap manusia dapat ditahan, diubah,
ataupun diekspresikan, tetapi emosi itu akan selalu dialami oleh manusia.
Kemudian tentang pemahaman, disini bukan
berarti pemahaman dalam pengertian yang biasa, tetapi yang dimaksud ialah dasar
segala pengertian. Pemahaman/Verstehen ini dikaitkan dengan kebebasan manusia.
Berawal dari kesadaran akan manusia yang dapat mengisi sendiri eksistensinya,
disini manusia akan dapat menggunakan segala kebebasannya untuk memilih segala
kemungkinan yang ada. Tetapi jelas, pemilihan akan eksistensi ini sesuai dengan
yang apa manusia itu inginkan. Jadi, manusia akan menggunakan kebebasan ini
dengan suatu rencana yang sudah dipahami secara jelas. Berarti, Verstehen ini
ialah cara berada manusia.
Yang terakhir ialah Rede atau bicara. Kata kata
merupakan sarana komunikasi tiap manusia, yang sedang saling membentuk
eksistensinya masing-masing. Tetapi, melalui pembicaraan, manusia dapat juga
kehilangan eksistensinya. Misalnya karena ia termakan oleh pembicaraan orang lain,
meniru pendapat orang lain, dan lain-lain. Pembicaran yang telah kian meluas
akan menjadi pandangan banyak orang, dan biasanya Das sein termakan oleh ini
dan menjadi dasman, yaitu menggantungkan pilihannya terhadap yang lain.