Thursday 9 October 2014

"Pemikiran Martin Heidegger"

Dasar pemikiran Martin Heidegger yaitu terdapat dua hal, pertama yaitu kekecewaannya atas filsafat barat yang melupakan makna being. Kekecewaan itu lahir dari kesejarahan pemikiran tentang being, yang kemudian menjadi hal yang berubah artinya. Being menjadi hal yang universal tetapi tidak terkonsepkan.

"After all, the term 'Being' has a long history in philosophy as the most universal but indefinable concept and it is also one of those words that is frequently thrown around but, on heidegger's view, rarely understood."
"to repeat his fundamental claim, Being has been understood as thing(s), as objectively present and 'there', and my metaphysical account of reality is then constructed on the basis of this prior understanding of the meaning of Being"

Kedua ialah berasal dari gurunya, Husserl. Yang pertama, Heidegger merasa pencarian filosofis terhadap being dari dulu di awal permulaan filsafat yaitu yunani klasik sampai sekarang, telah tertutupi oleh pencarian filosofis terhadap "ada" itu sendiri. Misalnya dalam pemikiran plato, konsep "ada" telah menutupi konsep being karena semuanya secara telak mau dikembalikan pada dunia idea yang dianggapnya sangat sempurna. Kemudian pemikiran Immanuel Kant, yang ingin menyamaratakan konsep ada dan konsep being, dengan mengembalikannya pada kategorisasinya. Being dan "ada" disatukan dalam satu konsep yang sama. Jadi jelas, konsep being selalu tertutupi oleh konsep "ada". Heideger tak mau dianggap sebagai filsuf eksistensialis, karena ia selalu mendasarkan pada ontologi. Filsafat Barat dianggapnya seakan-akan meminggirkan permasalahan being, karena dianggap tidak layak dipertanyakan atau malah dianggap sudah jelas. Maka dari itu, pertanyaan Heidegger mengenai being menjadi pertanyaan dengan argumentasi sejarah, yaitu sejarah kelupaan atas makna being.

Kemudian yang kedua adalah berasal dari gurunya yaitu Edmund Husserl. Husserl malah kebalikan dari Heidegger, ia tak pernah tertarik pada pertanyaan sejarah filosofis. Malah sebaliknya, semuanya harus dikembalikan kepada deskripsi pengalaman. Tetapi, bagi Heidegger, ini berarti bahwa pemahaman atas pengalaman ialah selalu sudah ada keterkaitannya dengan dunia. Jadi, kesadaran atas pengalaman tersebut ada secara disengaja, dengan arti yaitu selalu menujur atau mengarahkan diri pada dunia.

Hal tersebut dalam fenomenologi disebut sebagai intensionalitas, yaitu keterarahan keluar. Suatu being tak mungkin dapat mengenali dirinya sendiri apabila tak ada dunia eksternal. Hal ini juga mengkritik secara implisit terhadap Cartesian, yang beranggapan bahwa being adalah keterarahan pada diri sendiri, dan meminggirkan dunia luar. Kita bisa mengenal diri kita sendiri, tanpa adanya dunia luar. Seperti subjek yang terarah pada subjeknya sendiri. Padahal, dalam metode keraguan Descartes, pertama-tama ia meragukan dulu hal-hal diluar dirinya, yaitu dunia luar. Segala hal yang ada di dunia luar dapat disangsikan kebenarannya, Jadi, memang pada awalnya selalu ada keterarahan dulu keluar diri. Itulah pandangan Heidegger dimana kesadaran manusia harus ditekankan pada kesadaran subjek yang terarah pada dunia luar. Selalu ada subjek dan objek. Kedua hal itupun harus ditekankan relasinya, dimana selalu ada keterbukaan di keduanya.  Subjek membuka diri dengan kesadarannya dengan keterarahannya keluar, dan objek membuka dirinya agar dapat direfleksikan pada diri. Sehingga kesadaran dalan fenomenologi itu aktif. Berbeda dengan kesadaran dari empirisme atau rasionalisme yang pasif, dan ada yang disebut sebagai kesadaran palsu.

Pemikiran ontologi Heidegger berbeda dengan idealis yang bisa menitikberatkan kepada teorinya terlebih dahulu. Karena fenomenologi selalu menekankan kepada keterikatan terhadap realitas. Manusia itu menemukan dirinya, dunia dan semua ada karena dia adalah mahluk yang bertindak, yang berurusan dengan  segalanya yang ada di sekelilingnya.

Intensionalitas menyebabkan segala yang ada berkaitan dengan ada-ada yang lain. Maka dari itu, keterikatan antara ada dan dunia itu pasti dan satu. Dan Heidegger menyebutnya dengan in-der-welt-sein, ada dalam dunia. Tetapi dalam fenomenologi Heidegger,  berfokus pada being manusia yang harus dibedakan dengan being-being yang lain. Heidegger beranggapan bahwa being manusia ialah makna-ada-yang-mengada-disana, yang ia sebut dengan Das sein. Das sein berbeda dengan ada yang lain, karena ada yang lain dianggap tidak mengada seperti manusia. Ada yang lain biasa disebut dengan Das man, atau pengertiannya ialah being in it self. Tetapi manusia yang disebut  Das sein  memiliki pengertian being for it self, ada yang mengadakan dirinya sendiri, ada yang mempertanyakan suatu ada.  Pertanyaan akan suatu ada selalu muncul oleh suatu mahluk yang mempertanyakannya. Yaitu manusia yang selalu bisa mempertanyakan tentang ada. Jadi, manusia ialah satu-satunya yang dapat mengemukakan pertanyaan tentang ada sekaligus menjawabnya. Memahami suatu ada merupakan hal yang istimewa, yang dampaknyapun istimewa.

In-der-welt-sein bukan hanya sekedar menjadi tempat naungan subjek dan objek, tapi bisa juga menjadi realitas itu. Dalam in-der-welt-sein, manusia pasti menemui benda-benda yang lain. Sedangkan benda-benda sudah tertentukan dan terdeterminasi dalam keberadaannya tersebut. Disinalah yang disebut dengan esensi mendahului eksistensi.  Segala benda telah memiliki esensinya terdahulu sehingga membatasi eksistensinya. Tetapi, manusia itu berlainan dengan benda-benda, karena hanya manusia yang dapat menentukan caranya untuk berada. Berarti disini manusia awalnya tidak memiliki esensi, sehingga manusia mempunyai keluasan untuk memilih sendiri cara keberadaannya/eksistensinya.

Keterlibatan dasein dalam dunia menjadikan dunia sebagai yang terdiri dari banyak benda menjadikan benda itu sebagai hal untuk menyadarkan dirinya sendiri. Sama dengan prinsip intensionalitas, yaitu keterarahan keluar dan keterlibatan secara aktif. Misal dalam analogi yang sangat terkenal dari Heidegger ialah analogi palu. Palu merupakan salah satu benda di dalam dunia ini, dan kita untuk dapat sadar akan diri sendiri melalui palu ini, harus mengenal dan terlibat dengannya. Palu biasa kita kenal sebagai benda yang terbuat dari gagang kayu dan ujungnya besi, yang berguna untuk mengeratkan paku. Tapi kita tak bisa hanya mengenalnya untuk menyadarkan diri sendiri, tapi harus terlibat. Keterlibatan dengan palu itu adalah "saya menggunakan palu itu untuk mengeratkan paku". Hal ini disebut Heidegger dengan ready to hand.

Jadi, benda dalam dunia ini dianggap mempunyai tiga faktor penting. Pertama yaitu benda mempunyai fungsinya masing-masing. Kedua, benda tersebut bertujuan sebagai fungsi untuk dasein. Dan ketiga ialah totalitas  atau equipment. Yaitu, segala benda saling mempunyai guna dan fungsi sehingga membentuk kesatuan instrumentalitas sebagai totalitas.

Ada beberapa hal yang penting dalam pemikiran Heidegger, salah satunya yaitu fallenness atau keterlemparan. Apabila das sein dipertanyakan,  apa yang memungkinkan kedisanaan anda? Maka satu-satunya jawaban ialah ia terlempar di dunia. Kemudian yang kedua ialah faktisitas, yaitu suatu kondisi yang memang sudah terberi dari das sein, kondisi yang tidak mungkin lain dari itu. Keterberian ini berawal dari hubungan ada dengan dunia (in-der-welt-sein) yang memang awalnya telah bermakna/bernama. Kedua hal itu merupakan perwujudan dari keterikatannya dengan in-der-welt-sein secara pasti.

Maka dari itu, das sein juga terikat dengan waktu. Karena waktu ialah hal yang memang sudah terberi dalam dunia ini. Waktu ialah hal yang dapat menyadarkan das man menjadi das sein. Karena dengan kesadarannya terikat dengan waktu, menjadi ingat dengan kematian. Kematian membuat seseorang jadi ingin menjalani kehidupannya secara utuh dengan individualitasnya yang mewaktu dan menyejarah. Saat pencarian individualitas itulah seseorang dapat menjadi das sein.

Lalu bagaimana bentuk eksistensial yang otentik menurut Heidegger? Karena keterlibatan dengan dunia dan waktu adalah hal yang pasti menurut Heidegger, maka pencarian eksistensialis yang metafisis itu tidak benar. Mencari jawaban eksistensial ialah hal yang sia-sia, karena hal itu tak akan pernah dapat menemukan akhirnya. Yang otentik ialah orang yang memang menjalani keterikatannya dengan dunia dan waktu, tetapi tidak tenggelam di dalamnya. Tetap menjalani rutinitas sehari-hari, tetapi tidak tenggelam dan melupakan makna das seinnya sendiri. Karena apabila ia tetap tenggelam dan melupakan dirinya sendiri, maka ia menjadi das man.

Eksistensial yang otentik menurut Heidegger ialah hal yang bisa dipilih. Orang dapat memilih membiarkan dirinya terhanyut oleh rutinitas ataupun tidak. Dan ada juga orang dapat menjadi das man dengan membiarkan dirinya terhanyut oleh kerumunan banyak orang/kelompok. Disini sosialitas dalam eksistensial Heidegger muncul. Orang yang termakan oleh kepentingan kelompok, dan menganggap bahwa identitas dirinya ialah identitas kelompok maka ia bukan das sein. Ia adalah das man, karena ia tidak dapat membedakan dirinya dengan yang lainnya.  Kita juga tetap bisa menjadi das man walau tidak membedakan dirinya dengan yang lain, yaitu karena kita saat itu tidak seutuhnya kita.

Disini muncul permasalahan sosialitas yang lain dalam pemikiran Heidegger. Jika das sein secara pasti terikat  dengan in-der-welt-sein, bukan berarti mengekang individu dalam keterikatannya dengan dunia dan waktu. Malah sebaliknya, individu tersebut bukannya terisolasi, melainkan malah tersosialisasi secara pasti dengan waktu dan dunianya. Berarti juga memiliki keterikatan yang pasti dengan in-der-mit-andern-sein. Yaitu kepastian keterikatan dengan das sein yang lain. Maka, kebebasan tiap individu dalam keterikatannya itu muncul dengan dialektika negosiasi sosial yang ada.

Dalam ready-to-hand pastilah jika ada orang yang menggunakan suatu benda, benda tersebut mungkin juga akan digunakan oleh orang lain. Dari benda-benda yang sudah ada dalam dunia ini, pasti ada juga keterikatan dengan orang lain. Ini artinya bahwa, dunia sudah secara faktisitas dikonsepkan untuk saling share satu sama lain.

Keterbukaan manusia bagi dunia dan bagi sesamanya oleh Heidegger dibagi menjadi tiga, yaitu Befindlichkeit atau kepekaan, Verstehen atau pemahaman, dan Rede atau kata-kata untuk berbicara.

Pertama dalam kepekaan yang dimaksud ialah suatu perasaan atau emosi manusia. Dalam kepekaan ini muncul perasaan yang bukan berasal dari suatu pengamatan terhadap dunia, tetapi memang karena berada-dalam-dunia. Jadi, kepekaan yang memunculkan emosi ini ialah asali ada dalam diri manusia. Walaupun nantinya emosi tiap manusia dapat ditahan, diubah, ataupun diekspresikan, tetapi emosi itu akan selalu dialami oleh manusia.

Kemudian tentang pemahaman, disini bukan berarti pemahaman dalam pengertian yang biasa, tetapi yang dimaksud ialah dasar segala pengertian. Pemahaman/Verstehen ini dikaitkan dengan kebebasan manusia. Berawal dari kesadaran akan manusia yang dapat mengisi sendiri eksistensinya, disini manusia akan dapat menggunakan segala kebebasannya untuk memilih segala kemungkinan yang ada. Tetapi jelas, pemilihan akan eksistensi ini sesuai dengan yang apa manusia itu inginkan. Jadi, manusia akan menggunakan kebebasan ini dengan suatu rencana yang sudah dipahami secara jelas. Berarti, Verstehen ini ialah cara berada manusia.


Yang terakhir ialah Rede atau bicara. Kata kata merupakan sarana komunikasi tiap manusia, yang sedang saling membentuk eksistensinya masing-masing. Tetapi, melalui pembicaraan, manusia dapat juga kehilangan eksistensinya. Misalnya karena ia termakan oleh pembicaraan orang lain, meniru pendapat orang lain, dan lain-lain. Pembicaran yang telah kian meluas akan menjadi pandangan banyak orang, dan biasanya Das sein termakan oleh ini dan menjadi dasman, yaitu menggantungkan pilihannya terhadap yang lain.

Eksistensialisme yang ditimbulkan oleh analitik dari Heidegger ini sangatlah berguna dalam kehidupan kita. Karena memang pada dasarnya kita tidak akan bisa hidup tanpa apa yang ada dalam sekitar kita. Yang menjadi kekaguman saya ialah, bagaimana panjangnya proses dari pemikiran ontologi melebar sampai pada eksistensialisme, dan sangat berbobot. Padahal, pada awalnya Heidegger hanyalah mendeskripsikan tentang apa yang ada secara sejelas-jelasnya. Dia hanya memberikan analisisnya secara jelas tentang apa itu ada, apa saja jenis-jenis ada, bagaimana ada itu mengada dan sebagainya. Dari pada para pemikir filsafat barat dari dulu yang selalu berbicara tentang ada, tetapi tidak mempunyai perluasan kepada eksistensial manusia, bahkan tidak pernah terkonsepkan secara jelas. Disini sistematika filsafat yang terdiri dari tiga hal penting yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi rasanya bisa dicapai dengan pemikiran Heidegger ini. Jadi, walaupun Heidegger adalah seorang filsuf di abad setelah modern, dia masih memiliki spirit yang sama dengan zaman modern, yaitu komprehensif dapat merangkum tiga hal dalam sistematika filsafat itu. 
Readmore → "Pemikiran Martin Heidegger"

Friday 11 July 2014

"Hamas: Israel Senang Negara Arab Diam Sikapi Agresi Militer"

Gerakan perlawanan Islam Palestina, Hamas menuding sebagian besar negara Arab diam dalam menghadapi pembunuhan massal terhadap rakyat Palestina.

Mengutip Izzat Al Rishq, anggota Biro Politik Hamas, situs berita Felestin Online, Jumat (11/7) melaporkan, sebagian besar negara Arab hanya diam dalam menyikapi kejahatan-kejahatan rezim Zionis Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat, atau mengeluarkan statemen-statemen formalitas.

Anggota Biro Politik Hamas mengatakan, "Israel sangat gembira dengan diamnya negara-negara Arab. Dengan memperhatikan sikap media-media Israel, terlihat kegembiraan media-media tersebut atas diamnya negara-negara Arab menanggapi serangan-serangan militer Israel."

Al Rishq mengumumkan, "Sungguh disayangkan negara-negara Arab tidak mendukung perlawanan Palestina dalam menghadapi serangan dan agresi Israel. Mereka meninggalkan Palestina di medan tempur sendirian."

Rezim Israel sejak 8 Juli lalu dengan dalih penemuan tiga mayat warga Zionis di Tepi Barat, melancarkan serangan-serangan udara ke Jalur Gaza yang sampai saat ini telah mengakibatkan 98 warga Palestina gugur syahid dan ratusan lainnya terluka. (IRIB Indonesia/HS)

Berita Dikutip dari: (http://indonesian.irib.ir/)
Readmore → "Hamas: Israel Senang Negara Arab Diam Sikapi Agresi Militer"

Tuesday 17 December 2013

"Membangun Demokrasi dalam Kerangka Etika"

Berangkat dari pemahaman mengenai demokrasi bahwa demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal. Bahkan mungkin dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung dari penganut demokrasi itu sendiri. Kedudukan demokrasi yang juga merupakan sentral telah menjadi nilai tawar untuk meluluhlantakkan teori-teori lainnya mengenai tatanan kekuasaan yang baik yang ditawarkan oleh kalangan filsuf, ahli hukum, dan pakar ilmu politik.

Kepercayaan atas kuat dan sempurnanya bangunan demokrasi belum dapat tergoyahkan secara filosofis, sosiologis maupun dalam format yuridis ketatanegaraan. Kedudukan dari demokrasi itu sendiri juga diperkuat dengan konsep lainnya yaitu human right, civil society, maupun konsep good governance membuat posisi demokrasi sebagai konsep terbaik yang pernah dicapai oleh pemikiran manusia. Demokrasi juga merupakan sebagai suatu teori yang dapat diterima dalam beberapa pandangan.

Disamping hal tersebut, demokrasi juga diyakini memiliki prinsip-prinsip universal yang merupakan ciri dari keberadaan demokrasi itu sendiri. Prinsip-prinsip universal tersebut yaitu adanya: (i) kebebasan, (ii) kesamaan, (iii) kedaulatan dari suara mayoritas. Prinsip kebebasan dan kesamaan dilaksanakan melalui metode kalkulasi kuantitatif yaitu "majority principle" atau melalui "voting". Yang merupakan salah satu ciri penting dari adanya prinsip kebebasan, kesetaraan dan kedaulatan suara mayoritas (rakyat) adalah dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu). Selain dari itu, adanya hubungan kekuasaan yang dimasukkan di dalam kerangka metode kalkulasi kuantitatif. dalam hal tersebut bahwa objektititas dari konstruksi keputusan dari teori demokrasi yang dianggap benar dan adil itu sendiri didasarkan pada kuantitasnya dan bukan berdasarkan pada kualitasnya. Hal ini memberi arti bahwa pelaksanaan dari demokrasi menggunakan pendekatan kuantitatif dan logika induktif empiris sebagai jalan keluar dari penataan kekuasaan yang kompleks. Pemecahan konkrit tentang penentuan dari kehendak umum secara nyata dicapai dan diukur lewat kehendak mayoritas yang dimana mekanisme voting menjadi faktor determinan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa arti dari kedaulatan rakyat tidak diartikan sebagai kehendak dari seluruh rakyat melainkan kehendak dari suara terbanyak atau mayoritas.

Pemahaman dari demokrasi dalam batas-batas kedaulatan mayoritas semata membuat fenomena kekuasaan akan lebih terlihat nyata dimana terjadi kedaulatan mayoritas atas ketundukan minoritas. Voting dan kuantifikasi menjadi tolak ukur untuk menemukan kebenaran dan keadilan versi mayoritas yang pada akhirnya akan menjadi substansi hukum yang dalaksanakan untuk dan atas nama dari kepentingan bersama. Metode tersebut juga menjadi pembenaran dari tindakan politik karena dianggap menjadi suatu proses demokrasi yang beradap dan menjadi janji untuk menjamin hak minoritas suara hanya akan masuk sebagai daftar tunggu (waiting list) yang bisa dilaksanakan ataupun yang tidak bisa dilaksanakan dalam konteks kepentingan politik.

Dari hal tersebut bahwa sepanjang demokrasi hanya dalam batas-batas rasionalisasi dari kedaulatan mayoritas semata, maka demokrasi akan selalu diartikan pembenaran atas fenomena kekuasaan, sebagai refresentasi rezim elit politik atas nama mayoritas dengan menggunakan hukum sebagai alat legitimasi dan alat untuk memobilisasi rakyat (massa). Demokrasi juga dapat menjadi perangkat praktis yang berpeluang untuk memberlakukan hal-hal yang tidak adil, tidak etis dan serta atas pelanggaran atas martabat manusia. Dalam demokrasi dimana hukum tidak menempati moralitas di dalamnya, dan hukum hanya sebagai alat rezim elit politik yang berkuasa atas nama mayoritas. Pemahaman konvensional atas nama demokrasi telah menunjukkan kelemahan yang fundamental dari demokrasi sebagai teori politik modern.

Namun sebagai langkah solutif bahwa demokrasi akan menghasilkan keputusan etis apabila dilandasi dan diformat dalam kerangka etika dasar yang utuh dimana rakyat harus dibimbing secara etis sebelum membuat keputusan-keputusan yang signifikan bagi pengembangan potensi kemanusiaan secara universal. Metodologi dari demokrasi perlu dikembangkan ke arah penyelamatan nilai-nilai kemanusiaan sebagai tujuan esensial dari prosesnya. Suara terbanyak atau hukum mayoritas harus digantikan dengan kesepakatan musyawarah dari enlightened people (orang-orang yang tercerahkan: negarawan) yang ditunjuk menjadi wakil. Negara seharusnya mendirikan lembaga pendidikan khusus yang dapat menghasilkan orang-orang yang memiliki kompetensi untuk mengurusi negara secara adil dan profesional.

Hal yang seharusnya diutamakan atau hal esensial adalah demokrasi harus dapat membawa pada keadilan yaitu keadilan politik, keadilan ekonomi, keadilan sosial dan kultural. Mestilah butuh perenungan dan upaya maksimal , bahwa dengan adanya keadilan maka akan menyelamatkan manusia pada kehidupan dan martabat manusia. Keadilan akan membawa pada kemakmuran yang bermakna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa "Jika demokrasi tidak membawa kondisi keadilan padanya, maka kita tidak menemukan apapun dari yang dinamakan demokrasi"


Readmore → "Membangun Demokrasi dalam Kerangka Etika"

Friday 13 December 2013

"KEDUDUKAN DAN FUNGSI WAKIL MENTERI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA"

ABSTRAK

Al Qadri Nur (B11106213), Kedudukan dan Fungsi Wakil Menteri Dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia, dibimbing oleh Aminuddin Ilmar (selaku Pembimbing I) dan Naswar Bohari (selaku Pembimbing II).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan dan fungsi wakil menteri. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan antara wakil menteri dan menteri dalam struktur organisasi kementerian.
Penelitian ini dilaksanakan di Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jakarta dan pada Kantor Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji kepustakaan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini. Serta pengkajian data-data yang berupa dokumen-dokumen yang akan dianalisis, serta wawancara dari beberapa pihak dan data lainnya yang dapat dijadikan sebagai data sekunder untuk menunjang penelitian yang selanjutnya dapat digunakan untuk mendukung dalam penulisan skripsi ini.
Temuan yang dapat diperoleh bahwa Ketentuan Konstitusi mengenai pengangkatan Wakil Menteri adalah bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksakan tugas-tugasnya. Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa "sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan" dan dimasukkan di dalam Undang-Undang sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuan-ketentuan lain di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa posisi jabatan Wakil Menteri tidak bertentangan dengan konstitusi. Sedangkan, mengenai hubungan Menteri dan Wakil Menteri dalam Kementerian Negara yaitu Wakil Menteri memberikan dukungan di dalam pelaksanaan tugas Menteri untuk meningkatkan kinerja Kementerian Negara.
Readmore → "KEDUDUKAN DAN FUNGSI WAKIL MENTERI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA"

Thursday 12 December 2013

"Belenggu antara Kebaikan dan Keburukan"

"Jika berkali-kali terulang maka semua selalu terasa lebih. Saat diri sebagai manusia menyadari sepenuhnya bahwa Ia hidup maka saat itu pula terasa menyakitkan bahwa diri ini mungkin sudah lama mati."

Sebagian manusia terlihat sangat aneh di mataku. Sebagian manusia tersebut juga bicara seolah tahu mengenai apa itu kebaikan dan keburukan? seakan mereka menyadari bahwa apa yang mereka anggap baik maka itulah KEBAIKAN dan apa yang mereka anggap buruk maka itulah KEBURUKAN. Terlihat jelas di mataku "Noda Hitam" bagi mereka yang tidak melihat. Mereka yang bicara atas nama kebaikan, mereka menyeru pada keluhuran, mereka yang menasehati dalam kebenaran ternyata tidak pernah terlepas dari "Belenggu Noda" yang melilit dengan erat.

Ada diantara mereka yang berkata "Kasihanilah Sesama" tetapi di waktu mereka berjalan, pandangan matanya tidak pernah beralih ketika ada seorang anak kecil yang menangis di depan mereka. Seorang anak yang menangis itu sudah menjadi hal yang biasa sehingga hal tersebut tidak perlu dipermasalahkan lagi. Begitu terbiasanya hingga lupa kalau ada...,yah begitulah kenyataan yang terlihat.
Seringkali Ia berbicara etika yang luhur, seringkali Ia berbicara tentang kasih sayang terhadap sesama manusia, tetapi mengapa sebuah tangisan dari seorang anak kecil tidak menusuknya begitu dalam. Padahal seorang anak tersebut menangis karena mungkin Ia belum makan sejak pagi sampai malam hari. Bukankah sangat mudah untuk memberi makanan? ya mudah sekali, tetapi pada kenyataannya sangat sulit untuk tahu bahwa ada seorang anak kecil yang menangis karena kelaparan. Dalam pikiran sebagian orang mungkin mengatakan "biasalah anak kecil menangis, yah paling-paling cuma karena kenakalan anak kecil". Tetapi yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa tahu kalau tidak pernah terusik untuk tahu? bagaimana bisa peduli kalau tidak pernah terusik untuk peduli? Semua orang bisa peduli tetapi hanya sedikit orang yang terusik untuk peduli.

Ada di antara mereka yang berkata "Perlakukanlah orang lain sebagaimana kau ingin diperlakukan". Perkataan yang sungguh sangat mulia. Kukatakan bahwa ingin sekali kuhormati orang yang berkata begitu jika seandainya saja aku tidak melihat ketika ada orang tua yang berkata kepadanya "Maaf saya sedang sakit" dan Ia menjawab "cari orang lain saja, maaf saya sedang sibuk". Tidak tahukah Ia bahwa orang tua tersebut berjalan kesana kemari dikarenakan entah mengapa semua orang menjadi sibuk disaat orang tua tersebut dalam keadaan sakit. Sungguh seperti tidak ada yang patut disesali, karena rasa sakit orang lain terasa tidak begitu nyata dengan rasa penat dan letih yang dialami. Siapapun ingin ketika dirinya merasa dalam keadaan sakit, maka Ia mendapat pertolongan dari mereka yang mampu menolongnya. Orang tua tersebut sangat sederhana, dalam anggapannya setiap mereka yang tampak putih adalah orang yang tepat untuk diminta tolong. Benar sekali, hanya saja satu-satunya yang tidak diketahui oleh orang tua tersebut adalah mereka yang tampak putih itu mungkin juga dalam keadaan sakit.

Ada juga diantara mereka yang berkata "Hormatilah pendapat orang lain". Ini merupakan kebaikan yang sangat biasa dan sangat umum. Tetapi anehnya kebaikan ini ternyata juga luar biasa ketika ada banyak noda yang menghiasinya. Tidak jarang hanya karena berbeda tempat dan bagian maka semua hal tersebut menjadi begitu berbeda. Ia boleh saja menjadi seorang yang ahli tetapi bukan berarti bahwa mereka yang tidak diakui sangat ahli adalah merupakan orang yang sangat mudahnya diacuhkan. Mungkin karena Ia tidak menganggap semua pendapat selainnya itu salah tetapi cuma dikarenakan Ia tidak mengacuhkan bahwa orang lain bisa lebih benar dari dirinya dalam kasus tertentu. Orang tersebut bersikap sederhana dengan ide yang universal bahwa semua orang harus dihormati pendapatnya, tetapi dirinya begitu mudah mengeluarkan kata-kata 'gimana sih anda ini, begitu saja tidak bisa", atau "aduh,jangan buat saya tertawa" atau "yang atasan disini siapa?", atau "memangnya anda ini siapa?". Ternyata memang kita harus menghormati orang lain sesuai dengan statusnya, siapakah dia atau dari golongan manakah dia.

Siapa saja tidak bisa menerima kata-kata kasar. Itu merupakan hal yang sudah menjadi kesepakatan umum, tetapi sayangnya tidak semua orang menyadari bahwa hampir sebagian orang mudah sekali berkata kasar. Hal yang sederhana kadang membuat orang lain mudah sekali marah jika Ia sedang benar-benar dalam keadaan lelah.  Teringat seorang lelaki yang berkata kepada seseorang "Pak tolong lihat ayah saya, ayah saya sedang menggigil". Orang tersebut menjawab "kenapa sih anda ini, daritadi kerjanya mengeluh terus". Sungguh sangat dimakhlumi kalau orang tersebut benar-benar dalam keadaan lelah karena kerjanya berjalan kesana kemari menangani orang-orang yang mengeluh dengan berbagai macam keluhan. Tetapi bukankah laki-laki tersebut tidak tahu? Tetapi Ia cuma ingin menolong ayahnya yang sedang menggigil. Seanginya mungkin orang tersebut bisa menolong atau menyembuhkan ayahnya sendiri, tetapi ketidakmampuan telah membuatnya berfikir bahwa satu-satunya yang bisa dimintai tolong dan mampu disitu adalah orang yang ternyata sudah begitu lelah untuk mengurusi orang lain. Sepertinya faktor kelelahan mudah sekali menginduksi menjadi kekasaran dan disitu juga sepertinya kezaliman yang kecil bermain dangan sangat mudahnya.

Setelah memandang semua hal tersebut kepada manusia selain diri sendiri. maka pandangan tersebut kualihkan pada diriku. Betapa mengerikannya ketika kulihat "Belenggu yang melilitku jauh lebih banyak dan noda itu jauh lebih pekat". Betapa hal tersebut membuat diri ini benar-benar jatuh. Jatuh di dalam keputusasaan akan apa yang dinamakan kebaikan dan keburukan itu sendiri. Pikiran akan menjadi sangat terganggu. Betapa banyak orang yang baik tetapi ternyata adalah orang yang hanya dikira baik. Betapa banyak orang yang mulia tetapi sama saja buruknya pada kebanyakan orang yang buruk. Betapa banyak keburukan yang tersemat dalam kebaikan. "Keburukan Yang Terbelenggu Dengan Erat Dalam Kebaikan Manusia".
Readmore → "Belenggu antara Kebaikan dan Keburukan"